oleh Uli Kozok
Di dalam artikel “Over schrift en uitspraak der Tobasche taal” yang dimuat di majalah Bijdragen tot de taal-, land-, en volkenkunde van Neêrlandsch Indië pada tahun 1856 H. N. van der Tuuk menulis: “Mereka menulis selalu dari bawah ke atas” (Men schrijft […] steeds van onderen naar boven).
“Bila membaca ” lanjutnya, “mereka bisa meletakkan hasil tulisan, kalau mau, secara horisontal” (Bij het lezen kan men, des verkiezende, het geschrevene in eene horizontale ligging voor zich houden).
Van der Tuuk juga menjelaskan mengapa orang Batak menulis dari bawah ke atas: karena bambu menjadi media utama untuk menulis. Sebab bambu sulit ditulisi dari kiri ke kanan maka si penulis memegang ujung bambu dengan tangan kiri dan meletakkan ujung yang satu lagi pada perutnya. Karena ia harus mengukir dengan pisau raut yang runcing setiap huruf kepada kulit bambu maka demi keselamatannya dia akan menulis dari bawah ke atas. Karena kebiasaan menulis dari bawah ke atas maka cara yang sama juga diterapkan pada laklak.
Kalau membaca orang bisa membacanya dari bawah ke atas (sesuai dengan cara menulisnya) atau dari kiri ke kanan.
Bahwa cara menulis adalah dari bawah ke atas tampak juga pada pada anak ni surat (tanda diakritik) yang digunakan untuk menambah vokal atau bunyi ng dan h pada ujung suku kata.
Tanda diakritik ada enam: e (e-taling), i, o, u, ng, h. Namun untuk kepentingan artikel ini, kita hanya akan membahas tanda diakritik vokalnya. Untuk kelompok bahasa Batak Selatan (Mandailing, Simalungun dan Toba) hanya ada empat vokal selain daripada /a/, yakni e (e-taling), i, o, dan u.
Tanda untuk /u/ memiliki nama Haborotan yang berasal dari borot (tambat). Namanya Haborotan karena tanda /u/ memang “lengket” atau “tertambat” (borot) pada aksara. Bentuknya seperti panah yang mengarah ke kanan. Bila ditambah pada ᯆ /ba/ menjadi ᯆᯮ /bu/.
Haborotan itu juga digunakan di Pakpak. Di situ namanya menjadi Kebereten (kǝbǝrǝtǝn). Jadi namanya sama, hanya disesuaikan dengan kaidah bahasa Pakpak. Di Pakpak Kebereten malah ada dua. Satu untuk /u/ yang posisi sama dengan di Toba, Mandailing, dan Simalungun. Yang satu lagi digunakan untuk menandai e-pepet [ǝ] (seperti e dalam kata ‘belum’). Posisinya tidak lagi di kanan bawah, melainkan pindah di kanan atas dan namanya berubah menjadi Kebereten Podi (podi artinya ‘belakang’)
Tanda yang sama juga digunakan di Karo, juga untuk menulis ǝ (e-pepet), tetapi posisinya di sebelah kanan.
Sekarang mari kita perhatikan nama anak ni surat yang lainnya: Tanda diakritik untuk /i/ bernama Hauluan. Ha-…-an adalah imbuhan. Kata dasarnya ulu ‘kepala’.
Diakritik untuk /o/ bernama Siala Ulu. Sekali lagi kita menemukan kata ulu ‘kepala’ sebagai bagian nama untuk sebuah diakritik.
Mengapa namanya ‘kepala’ kalau baik /i/ maupun /o/ terletak di sebelah kanan aksara? Tidak masuk akal toh?
Nah, kalau kita menulis dari bawah ke atas baru masuk akal. Sekarang baik /i/ maupun /u/ mengepalai aksaranya!
bi (kiri ke kanan) menjadi bi (bawah ke atas)
bo (kiri ke kanan) menjadi bo (bawah ke atas)
Lantas, bagaimana dengan Kebereten Podi? Mengapa namanya Kebereten Belakang bila posisinya di sebelah kanan. Tidak masuk akal!
be (kiri ke kanan) menjadi be, bila ditulis dari bawah ke atas. Baru namanya Kebereten Podi masuk akal karena posisinya memang di belakang!
Ilustrasi yang ada di pustaha (buku kulit kayu) juga menjadi lebih akurat bila dilihat dari posisi melintang dan bukan membujur. Gambar hewan dan manusia tidak lagi tidur melainkan berdiri!
Paragraf pertama:
- Ahu ma pangulubalang sipangko di banua ni sanggapati ni pagar pangorom
- —na bolon rajaohon di bulung ni bira paturun si gunja di
- huta ni musuta datanom ma di pintu ni musunta inon.
Honolulu, 14 Mei 2020
Jansen Sinamo
Aksara Batak (Ang-Man, Karo, Pakpak, dll) apakah muncul serentak di seantero Tanah Batak? Kira-kira kapan munculnys? Dari mana/siapa Batak belajar beraksara?
Uli Kozok
Tidak. Paling awal Mandailing menerimanya. Lalu ke daerah perbatasan Simalungun dan Toba. Dalam beberapa hal aksara Simalungun sangat dekat dengan Mandailing. Pakpak menerimanya dari Toba. Karo paling belakangan mendapatkannya. Saya menduga bahwa munculnya aksara Batak terkait dengan adanya kompleks candi di Padang Lawas.
Teodore Tambun
Yang anda bilang benar Pak, karena saya orang Karo.
Uli Kozok
Pada abad ke-10 didirikan candi di Padang Lawas yang pada saat itu mestinya sebuah pusat agama Budha. Kita tahu bahwa aksara Batak berasal dari aksara Sumatera Kuno (jawa Kuno). Aksara tersebut digunakan di Padang Lawas. Saya yakin bahwa dari situlah asal-usul aksara Batak.
Uli Kozok
Aksara Batak duluan ada di Mandailing.
Sueddi Manik
Mauliate godang Amang
Hermanto Tobing
Horas! Pak Kozok, apakah membaca aksara batak seperti membaca pantun?
Uli Kozok
Aksara Batak bisa dibaca seperti kita baca huruf Latin. Tidak jauh berbeda.
sitepusilebu
pak profesor, izin bertanya adakah bapak pernah menyimpan ornamen ornamen karo, dan mungkin juga beserta pengertian dari ornamen tersebut