Baik bunyi [w] dan [j] (‘y’ dalam ejaan Indonesia) tidak ada di dalam bahasa Toba.
Jadi mengapa kita harus mempelajari aksara /wa/ dan /ya/ kalau memang tidak ada bunyi [w] dan [j] dalam bahasa Toba? Masalahnya kedua aksara memang sering digunakan di dalam pustaha dan naskah Toba lainnya untuk menyambung dua vokal. Tua, misalnya dapat ditulis /tua/ atau /tuwa/, dan tio boleh ditulis /tio/ maupun /tiyo/. Juga vokal ganda ea, ia dapat ditulis eya, dan iya.
Malahan ejaan /tuwa/ dan /tiyo/ lebih umum dipakai dalam naskah Toba.
ᯑᯮᯀ /dua/ – ᯑᯮᯋ /duwa/ ‘dua’ (tanda ᯮ adalah anak ni surat /u/)
ᯘᯪᯀ /sia/ – ᯘᯪᯜ /siya/ ‘delapan’ ( ᯪ adalah anak ni surat /i/)
Selain daripada itu, bahasa Batak mengandung banyak kata yang dipinjam dari bahasa Melayu dan Indonesia. Misalnya kata bawang tidak dapat ditulis tanpa ada aksara /wa/. Kata bawang memang sudah termasuk dalam bahasa Toba dalam bentuk baoang, tetapi ada ratusan kata pinjam dari bahasa Indonesia yang menggunakan [j] dan [w].
Untuk kata pea ‘rawa-rawa, paya’ dan demikian juga untuk rea ‘raya’ ada dua ejaan yang diperbolehkan:
Bentuk aksara /wa/ dalam semua bahasa Batak sama, yaitu ᯋ. Cara menulis /wa/ dengan menuliskan tiga garis. Garis panjang yang berlekung dulu, baru ditambah kedua garis pendek horisontal.