oleh Dr. Uli Kozok
“Karena tiada manusia yang bisa merampas, memperbudak, dan membunuh sesama manusia tanpa melakukan kejahatan maka bangsa yang dijajah dinyatakan bukan manusia.”
Jean-Paul Sartre
Asal usul kata ‘ras’ tidak diketahui dengan jelas. Ada kemungkinan kata tersebut berasal dari bahasa Latin ratio (alam/watak), radix (akar), atau generatio (pembuatan), namun ada pula teori yang mengatakan bahwa istilah ras berasal dari bahasa Slawonik, bahasa Germania, atau malahan bahasa Arab. Istilah ras pertama kali muncul dalam bahasa-bahasa Romawi sebagai razza (bahasa Itali), raza (Spanyol), raca (Portugal), dan race (Prancis) sejak abad ke-13. Menjelang abad ke-16 kata itu juga masuk dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Pada waktu itu kata ras belum punya konotasi biologis melainkan berarti “keturunan”, atau “bangsa” seperti dalam perkataan “bangsa tuan tanah”, atau “bangsa aristokrat”. Kata ras dalam arti “golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik” baru mulai digunakan pada abad ke-17 dan ke-18, dan baru pada abad ke-19 kata rasisme masuk dalam perbendaharaan kata bahasa-bahasa Eropa. Dengan demikian tampak bahwa sejarah rasisme sebagai ideologi masih relatif baru.
Paham atau ideologi rasisme sebagai “ilmu” lahir pada zaman pencerahan dan mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20.
Pada zaman pencerahan manusia melepaskan diri dari ideologi gereja yang melihat seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, dan para ilmuwan mulai dengan giat berusaha untuk memahami alam semesta secara rasional. Segala-galanya yang ada, terutama tumbuhan dan hewan dijadikan objek penelitian, diukur, ditimbang, dan dikelompokkan menurut kategori-kategori yang mereka ciptakan.
Kalau tumbuhan dan hewan dapat dikategorikan menjadi kerajaan, divisi, kelas, ordo, famili, genus, dan spesies maka manusia pun dapat dikelompokkan. Demikianlah usul François Bernier (1620-1688) yang menyarankan di majalah ilmiah “Journal des Scavants” agar manusia dikategorikan menurut warna kulit, postur, dan bentuk muka. Beliaulah yang untuk pertama kali menggunakan istilah ras dalam arti yang sekarang.
Ilmuwan Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) berusaha untuk memadukan agama dengan ilmu pengetahuan dan menekankan bahwa seluruh bangsa manusia berasal dari nenek moyang yang sama dan bahwa perbedaan-perbedaan ras diakibatkan oleh pengaruh lingkungan hidup, terutama iklim.
Carl von Linné (1707-1778), ahli botani dan zoologi asal Swedia untuk pertama kali meletakkan dasar tata nama biologi. Beliau juga mengelompokkan manusia modern (homo sapiens) pada puncak primata. Spesies manusia dikelompokkannya dalam empat kelas yang masing-masing memiliki bukan hanya ciri-ciri fisik tetapi juga ciri-ciri watak. Kelas orang Afrika misalnya disebut sebagai “jahat, malas, lalai”. Menurut Linné manusia dapat dibagi atas empat ras, yaitu ras putih (Eropa), ras kuning (Asia), ras merah (Amerika), dan ras hitam (Afrika). Pembagian ini menggantikan pembagian non-rasional berdasarkan kitab Injil yang pada tahun 1666 dilakukan oleh Georgius Hornius, yang membedakan tiga golongan, yaitu ras keturunan Yafet (putih), ras keturunan Sem (kuning) dan ras keturunan Ham (hitam).
Profesor kedokteran asal Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840) menjadi pelopor kraniometri (ilmu tengkorak). Ia percaya bahwa perbedaan antara ras dapat dilihat pada bentuk tengkorak, namun ia juga mengakui bahwa tidak ada batas antar-ras yang pasti. Blumenbach menambahkan ras kelima yaitu ras cokelat (Melayu).
Sesudah Blumenbach ada sejumlah besar ilmuwan yang menekuni bidang kraniometri serta bidang-bidang ilmu yang mirip seperti frenologi, ilmu yang meneliti sikap-sikap kepribadian, dan fisiognomi yang mempelajari bentuk muka namun semua upaya ini tidak membuahkan hasil apa-apa kecuali memberi kesan bahwa rasisme memang memiliki dasar yang rasional.
Dalam buku yang berjudul Essai sur l’inégalité des races humaines (Makalah perihal perbedaan ras-ras manusia, 1853-1855) Joseph Arthur de Gobineau (1816-1882) berusaha untuk membuktikan keunggulan ras Arya. Menurutnya “masalah ras merupakan persoalan utama dalam sejarah dunia. […] Sejarah menunjukkan bahwa peradaban berasal dari ras putih, dan bahwa tiada peradaban tanpa bangsa putih”. Gobineau membagi manusia dalam tiga ras, yaitu putih, kuning, dan hitam. Baginya ras hitam terlalu primitif sehingga mustahil menjadi manusia yang beradab. Sebagai seorang Katolik ia tidak menyangsikan kebenaran alkitab namun ia percaya bahwa Adam menjadi nenek moyang dari ras putih saja. Ras Asia dianggapnya lebih tinggi daripada ras hitam namun tetap di bawah ras putih yang merupakan satu-satunya ras yang memiliki peradaban yang sesungguhnya.
Teori Gobineau terutama berpengaruh di Jerman dan di Amerika Serikat, dan mengilhami Houston Stewart Chamberlain (1855–1927), warga negara Jerman kelahiran Inggris, untuk menulis buku berjudul Die Grundlagen des neunzehnten Jahrhunderts (Dasar-dasar abad ke-19) yang diterbitkan pada tahun 1899 dan menjadi buku yang amat laris dengan sekitar 250.000 eksemplar yang terjual antara 1899 dan 1938. Buku Chamberlain berdasarkan teori Gobineau namun dibumbui dengan antisemitisme, dan menjadi salah satu pilar ideologi nasionalisme sosial. Chamberlain sendiri menjadi anggota NSDP (Partai Nasionalisme Sosial Jerman).
Kini diketahui bahwa pengelompokan ras berdasarkan warna kulit tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Bahan pewarna (pigmen) yang dikenali sebagai melanin yang didapati di dalam kulit menentukan warna kulit manusia. Kulit yang hitam melindungi manusia terhadap kerusakan yang dapat diakibatkan oleh sinar ultraungu. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa manusia di daerah tropis memiliki kulit yang lebih cokelat dibandingkan dengan manusia yang mendiami daerah berhawa dingin. Namun demikian, di dalam suatu populasi selalu terdapat variasi warna kulit yang signifikan sehingga klasifikasi manusia menurut warna kulit tidak akurat. Baik di Eropa, di Amerika dan di Asia Timur ada spektrum warna dari putih hingga cokelat, tergantung pada individu, dan juga tergantung pada daerah. Ternyata dalam sejarah evolusi manusia, warna kulit hitam (atau cokelat) adalah warna kulit yang asli sementara warna putih di Eropa dan Asia merupakan perkembangan di kemudian hari.[1]
Di dalam zaman imperialisme Eropa rasisme menjadi salah paham yang secara ‘ilmiah’ membenarkan penjajahan bangsa berwarna oleh bangsa putih. Tentu saja kaum penjajah tak ingin dikenang sepanjang sejarah sebagai “penjarah”. Karenanya, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya ini. Mereka berdalih dengan menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa terbelakang yang hanya dapat mencapai tingkat peradaban bila dibantu oleh ras putih. Dengan demikian penjajahan dapat dibenarkan sebagai tindakan yang sebetulnya bermaksud untuk membantu kaum terjajah untuk mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi.
Catatan
[1] Lihat juga Sweet, Frank W. 2002. The Paleo-Etiology of Human Skin Tone: Essays on the Color Line and the One-Drop Rule. http://backintyme.com/essays/?p=4