Hubungan antara penginjil dan pemerintah penjajah sangat kompleks, dan tergantung pada berbagai faktor. Koalisi injil dan pedang memang cukup sering terjadi karena kedua belah pihak merasa diuntungkan: Pemerintah dan tentara kolonial dapat memanfaatkan pengetahuan para misionaris yang mengetahui bahasa, adat istiadat, dan keadaan setempat sementara para penginjil merasa diuntungkan karena mereka dengan lebih tenang dapat menyebarkan injil di dalam kawasan yang telah “didamaikan” pemerintah. Di samping itu, para misionaris yang hidup jauh dari tanah air di dalam lingkungan yang acap kali bermusuhan tentu merasa lebih aman apabila berada di bawah perlindungan pemerintah kolonial. Di lain sisi persekongkolan yang terlalu erat dengan para penjajah dapat juga menghambat upaya penginjilan. Dengan demikian kepentingan pemerintah dan penginjil tidak selalu sama, namun pada umumnya ada perasaan kuat baik pada pihak penginjil maupun pemerintah kolonial bahwa mereka saling membutuhkan.
Sebelum kita melihat bagaimana keadaan di Tanah Batak, ada baiknya bila kita melihat dulu bagaimana hubungan antara penginjil dan penjajah pada lembaga zending lain, dan juga di lain tempat.
Sikap gereja Katolik terhadap kolonialisme tidak jauh berbeda dengan sikap gereja-gereja Protestan. Sekali-sekali memang ada tokoh yang menganggap penjajahan sebagai tindakan yang tercela, namun jumlah mereka yang berpendapat demikian sangat kecil. Kebanyakan penginjil, baik Katolik maupun Protestan, sepenuhnya mendukung kolonialisme dan tidak pernah ada pernyataan yang menentang kolonialisme baik dari pihak gereja Katolik maupun dari gereja-gereja Protestan.
Paus Pius XI secara eksplisit mendukung penjajahan dengan mengeluarkan pernyataan melalui surat kabar Vatikan Osservatore Romano:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian, dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian, dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa. (Osservatore Romano24 Februari 1935)[/icon_text]Pemerintah Prancis senantiasa mendukung penginjilan di daerah jajahannya dan memberi perlindungan kepada para misionaris yang membalas budi pemerintah dengan menunjukkan sikap yang patriotis. Pada tahun 1884, misalnya, lembaga penginjilan Congrégation du Saint-Esprit memberi tahu kepada perdana menteri Prancis Jules Ferry bahwa mereka akan membuka pos zending di Kongo yang “keberadaannya mendukung kepentingan negara dan sekaligus agama Katolik”. Perdana Menteri Prancis (1881–1882) Leon Gambetta pernah menyatakan dukungan terhadap para penginjil dengan perkataan yang terkenal L’Anticléricalisme n’est pas un article d’exportation (antiklerkalisme bukan sesuatu yang kita ekspor). Bagi Gambetta terang sekali bahwa para penginjil sangat membantu upaya penjajahan sampai dia menyebut kehadiran Uskup Charles Lavigerie di Tunesia “lebih berharga daripada sepasukan tentara”.
Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813–1873) dari London Missionary Society yang pada masanya di tanah airnya Inggris dianggap sebagai pahlawan nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk “perdagangan dan kekristenan” dengan menggunakan semboyan Commerce, Civilization, Christianity (Perdagangan, Peradaban, Penginjilan). Gustav Warneck[1] yang menjadi guru di seminaris RMG dari 1871–1874 dan pendiri majalah zending Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) menerangkan pada tahun 1876 bahwa “pasukan penginjil” merupakan “tentara pelindung” di dunia kekafiran “yang lebih berperan dalam mengamankan perdagangan dunia daripada banyak kapal perang.”[2] Warneck juga ‘mengiklankan’ zending kepada penguasa sebagai “perintis perdagangan internasional” (AMZ 5, 1878, hal.67) dan menambahkan bahwa jasa itu disediakan dengan cuma-cuma. Walaupun mengakui bahwa kolonialisme terkait dengan ketidakadilan terhadap penduduk pribumi, ia berkeyakinan kuat bahwa kolonialisme tetap diperlukan (Warneck 1885).
Direktur badan penginjilan Skotlandia CSM menyatakan bahwa “para penginjil merupakan bagian penting dari kawasan jajahan dan harus bekerjasama dengan pemerintah dan para pendatang Eropa demi kemakmuran kolonial” (Paczensky 1991:318).
Hubungan akrab antara pemerintah dan penginjil disebabkan oleh kepercayaan mutlak akan keunggulan bangsa Eropa dan keagungan peradaban Eropa. Baik agama Katolik maupun Protestan melihat dirinya sebagai saudara kembar pengusasa dan sendi negara, dan khususnya dalam etika Protestan-Prusia kepatuhan terhadap penguasa dianggap sebagai kewajiban ilahi. Horst Gründer (1984) pernah menyebut sikap tersebut sebagai selbstherrlicher Kulturimperialismus (imperialisme budaya yang sangat percaya pada diri sendiri) yang dianut oleh para penginjil dan yang didukung oleh keyakinan bahwa budaya Barat dan agama Kristen merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan demikian kolonialisme di mata para penginjil bukan sesuatu yang berkonotasi negatif, namun sebaliknya kolonialisme dianggap sesuai dengan rencana Tuhan dan sekaligus sebagai wahana untuk membawa peradaban dan injil kepada bangsa “primitif”.
Pemerintah kolonial juga senantiasa mendukung kegiatan penginjil. Untuk memperluas pengaruh Eropa, demikian seorang pejabat Inggris, “mendirikan pos penginjilan baru sama gunanya dengan mendirikan pos pemerintahan baru”, namun jauh lebih murah. Gubernur Kamerun melaporkan kepada Kanselir Jerman Otto von Bismarck bahwa benih-benih perselisihan dapat diredam, dan jumlah pasukan polisi dapat dikurangi apabila seorang penginjil ditempatkan untuk mendampingi seorang kepala suku. Di Inggris sebuah majalah bisnis bahkan memperkirakan bahwa seorang penginjil menghasilkan untung setara 200.000 Mark (Gründer 1984:261), dan seorang Kapten kapal perang asal Prancis pada tahun 1860 berpendapat bahwa nilai seorang penginjil setara 300 tentara dalam mengamankan aset Prancis di Cina (Paczensky 1991:276).
Hal itu tidak berarti bahwa para penginjil senantiasa menyetujui tindakan pemerintah kolonial, namun hampir tidak ada yang bersikap anti-kolonial. Ludwig Harms, pendiri lembaga zending Hermannsburger Mission yang menyebarkan injil pada suku Zulu di Afrika Selatan, tahun 1854 pernah menyebut kolonialisme sebagai “Betrug und offener Raub” (penipuan dan perampokan terang-terangan). Harms berpendapat bahwa orang Afrika, kendatipun “primitif dan kafir”, “beretika tinggi”. Namun orang seperti Harms merupakan pengecualian. Penggantinya August Hardeland tahun 1862 menulis: “Orang Zulu, seperti juga banyak bangsa kafir lainnya, tidak lain daripada gerombolan perampok. Kalau mereka tidak mau menerima injil, moga-moga mereka akan menemui Charlemagne-nya [Charlemagne adalah raja kelahiran Aachen (Jerman) yang menyebarkan agama Kristen di Eropa dengan pemaksaan dan kekerasan ketika bertahta dari tahun 768 hingga 814] yang akan menghancurkannya, dan dengan cara kekerasan membuka jalan untuk kabar yang baik.” (dikutip dari Wellenreuther 2004:177)
Retorika yang kasar dan agresif seperti ini menjadi semakin umum sesudah kira-kira tahun 1870 ketika imperialisme Barat mulai berkobar dan paham rasisme semakin merasuki tubuh lembaga penginjilan.
Mengabdi pada Tuhan menjadi tujuan utama para misionaris, tetapi sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengabdi pada Tuan Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menjadi penjajah. (Paczensky 1991:262)
Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap di “Großnamaqualand” – 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang dikenal sebagai Namibia menjadi daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme, dan tanpa disuruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan Jerman baru berdiri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan.
Ketika para misionaris tiba di Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand dihuni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai perselisihan. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan dan konflik semakin berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka dianeksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman.
Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero, dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa yang terdiri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang, mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band. hal. 245)
Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan Jerman.
Pada awal tahun 1880an konflik antara suku Herero dan Nama semakin menjadi, dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni 1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122, band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa menurutnya seyogyanya kawasan itu dijajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris karena dianggapnya lebih sesuai “bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa yang sama” (ibid., hal.123). Pada surat rahasia tertanggal 3 Juni 1880 Fabri menyarankan agar Auswertiges Amt mengirim kapal perang ke Teluk Walvis. Fabri menekankan bahwa pangkalan kolonial Jerman di Teluk Walvis dapat mengandalkan bantuan penginjil L. Koch yang dapat menyediakan “bantuan apa pun” (Oermann 1999:55-56).
Bismarck menolak penawaran RMG, namun sikap Bismarck terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan terutama di Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menjadi Namibia sebagai jajahan Jerman terjadi dengan dukungan dan bantuan para misionaris RMG. Pemerintah kolonial Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada umumnya tidak memahami isi dari perjanjian tersebut. Misionaris Heidmann dan Judt membantu pemerintah kolonial dalam pelaksanaan perjanjian tersebut yang merampas wilayah mereka.
Setelah Afrika Barat Daya resmi menjadi wilayah penjajahan Jerman, para misionaris berperilaku layak tuan kolonial. Mereka lama mendukung Hendrik Witbooi (±1830–1905), kepala suku Orlam yang memeluk agama Kristen. Ketika Witbooi ingin memperluas wilayah kekuasaan ke arah utara maka suku Herero yang mendiami daerah itu meminta perlindungan kepada Jerman. Witbooi tidak lagi mengindahkan nasihat para penginjil dan malahan melarang mereka untuk masuk ke wilayahnya. Ketika pada tahun 1893 Witbooi berdamai dengan suku Herero, pemerintah khawatir Witbooi akan menjadi terlalu kuat. Oleh sebab itu markas Witbooi diserang. Di antara korban terdapat 78 perempuan dan anak-anak serta 10 laki-laki, tetapi Witbooi sendiri lepas. Di BRMG 1893 para penginjil menulis “Kalau pengacau keamanan yang sudah bertahun-tahun mengacaukan negerinya itu dimusnahkan, baru ada harapan maka negerinya bisa berkembang.” Para penginjil sangat menyesal Wittboi lepas ketika markasnya diserang dan mereka menganggapnya “gila” karena nekad melawan kekuasaan Jerman. Pada tahun 1894 tentara kolonial Jerman akhirnya berhasil menangkap Wittboi. Dalam Lembaran Negara Kolonial (Deutsches Kolonialblatt) peranan para misionaris pada penangkapannya diakui secara resmi dan Kementrian Luar Negeri malahan mengucapkan terima kasih pada penginjil RMG “atas jasa yang berharga dan nasihat yang sangat berguna” (Paczensky 1991:267). Wittboi, yang begitu dibenci oleh misionaris, kini menjadi pahlawan nasional Namibia.
Pada 12 Januari 1904 suku Herero di bawah pimpinan Samuel Maharero memberontak terhadap kekuasaan kolonial Jerman. Pada pertempuran Waterberg pasukan Herero mengalami kekalahan dan dipaksa mundur ke gurun Namib. Jenderal von Trotha memerintah pasukan kolonial Jerman untuk membasmi suku Herero. Para serdadu tentara kolonial tidak mengenal kata ampun. Dalam keadaan terkepung para Herero dibiarkan mati kehausan di gurun Namib, dan sisanya mati karena meminum air sumur yang diracuni oleh pasukan Jerman. Mereka yang menyerah langsung dibunuh.
Pada bulan Oktober 1904 terjadi pemberontakan lagi – kali ini dari suku Nama. Nasib mereka tidak lebih baik daripada nasib suku Herero. Di sini juga dengan sengaja pasukan Jerman berusaha untuk membunuh sebagian besar rakyat.
Diperkirakan bahwa sekitar separuh dari seluruh populasi Nama dibunuh pada waktu itu sementara jumlah korban pada suku Herero lebih tinggi lagi; diperkirakan bahwa 50% hingga 70% rakyat Herero, termasuk anak-anak dan perempuan, mati. Peristiwa ini kemudian menjadi terkenal sebagai genosida Nama dan Herero. Seluruh tanah mereka dirampas dan mereka yang bertahan hidup dipaksa bekerja untuk tuan tanah berkulit putih.
Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa “keadaan menjadi tenang sekali” dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen. Sesudah masyarakat tradisional mereka dihancurkan secara total oleh para penjajah maka satu-satunya lembaga yang masih berfungsi adalah gereja zending. (Paczensky 1991:262-268).
Perang Toba, jika dibandingkan dengan genosida yang menimpa suku Herero dan Nama, boleh dikatakan relatif damai. Korban memang berjatuhan pada kedua belah pihak tetapi jumlahnya relatif kecil. Berikut ini kami bahas peranan Batakmission pada Perang Toba I dan hubungan Batakmission dengan pemerintah kolonial Belanda.
Catatan
[1] Gustav Warneck adalah ayah Johannes Warneck yang menyusun kamus bahasa Batak–Jerman.
[2] “Welche mehr ausrichtet zur Sicherung des Welthandels als viele Kriegsschiffe” (dikutip dari Leistner 2009).