Jurnal Zending BRMG 1878 115-118
Sudah di bulan Januari kami mendengar dari Belanda desas-desus yang memprihatinkan dari Sumatra, yang awalnya tidak begitu jelas, tetapi di kemudian hari menjadi semakin jelas. Terdengar orang Aceh telah menjalin persekutuan dengan orang Toba melawan pemerintahan Belanda, dan semua penginjil beserta keluarganya berada dalam keadaan bahaya, atau bahkan telah dibunuh. Setelah kami melacak asal-usul desas-desus itu, ternyata bersumber dari surat seorang sahabat kita yang bermukim di Padang. Karena itu kami yakin bahwa desas-desus itu bukan khayalan belaka. Kami sendiri sudah mengetahui dari surat-surat penginjil kami yang dikirim pada bulan November [tahun 1877] bahwa ada kabar angin tentang adanya persiapan perang, namun penginjil kita tidak menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus itu –sebagaimana layak terjadi– semakin jauh dari tempat asalnya, menjadi semakin heboh.
Selain itu kami yakin bahwa apabila terjadi hal yang paling buruk, atau apabila penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah dikabari melalui telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba di sini –yang terakhir kami menerima pada tanggal 15 Januari [1878]– sehingga keadaan menjadi semakin jelas, dan ada harapan bahwa masalah ini tidak menjadi lebih daripada sekadar berita angin.
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba, berdiam seorang tokoh yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang awalnya Islam kini menjadi kafir.[1] Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan Singamangaraja – yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol, misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada roh-roh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris.
Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya, entah wabah cacar atau perang di Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya di Silindung. Suatu hari dia malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan dijamu di rumahnya. Akan tetapi kini ia tidak begitu dihormati lagi di Silindung karena dia membawa lari istri seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya.
Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu – tentu saja dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50 laskar dari Singkel atau Terumon yang di antaranya termasuk sejumlah orang Aceh. Adanya orang Aceh di antaranya membuatnya menjadi berita karena paling laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini disebabkan karena ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan musuhnya yang dapat menjadi penghalang dalam pekerjaan berdarah mereka.
Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan di Sibolga pasukan sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari pihak musuh.
Jika hal itu terjadi maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan Pangaloan dianeksasi menjadi bagian daerah jajahan Belanda.
Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang tadi kami sebut perlu kami mengemukakan kenyataan bahwa 1) Silindung secara hukum bagaimana pun sudah termasuk wilayah jajahan Belanda. Namun penyelenggaraan pemerintahan tidak pernah dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian yang telah dijalin dengan para raja yang, antara lain, melarang adanya perang di antara mereka, tidak pernah ditindaklanjuti. 2) Banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi – maka tuduhan penindasan dari pihak zending tidak beralasan sama sekali. Daerah-daerah itu [Silindung] secara hukum sebelum kedatangan zending sudah menjadi bagian jajahan Belanda, dan kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri [yang ada di tanah Batak]. Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [di tanah Batak] adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta – Tuhan tentu akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.
Artikel BRMG di atas diterjemahkan oleh Uli Kozok dari bahasa Jerman
Catatan
[1] Uraian keliru ini menunjukkan betapa sedikit para penginjil memahami lembaga raja imam pada orang Batak itu.