oleh Dr. Uli Kozok
Selama Fabri menjadi Direktur RMG ia semakin tertarik pada penjajahan dan tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman.
Menurutnya, kepentingan misi pada hakikatnya sejajar dengan kepentingan penjajah. Oleh sebab itu penginjilan seharusnya dijadikan alat untuk merintis penjajahan. Hal ini diyakini Fabri, dan teorinya ia simpulkan dalam ceramah pada Konferensi Penginjilan Eropa Daratan[1] yang berjudul Die Bedeutung geordneter politischer Zustände für die Entwicklung der Mission (Keadaan Politik yang Stabil sebagai Faktor Pendukung Penginjilan). Bersama mantan misionaris RMG C.G. Büttner dan superintenden misionaris Merensky[2], Fabri menjadi salah seorang perintis paham penginjilan kolonial (koloniale Missionsauffassung). Fabri juga dijuluki sebagai “bapak gerakan kolonial” serta “laba-laba dalan sarang jajahan”.
Ketika menjadi direktur RMG, Fabri merangkap menjadi pendiri Persatuan Penjajahan dan Ekspor[3] (1879), wakil ketua Persatuan penjajahan Jerman[4] (1883), dan anggota Serikat Penjajah Jerman[5]. Pada tahun 1879 Fabri juga menulis buku berjudul Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?
Fabri percaya bahwa Jerman memerlukan daerah jajahan untuk mengatasi masalah sosial yang melanda Jerman. Kepadatan penduduk dan angka pengangguran yang tinggi mengakibatkan kemiskinan massal sehingga timbul berbagai masalah sosial yang nantinya dapat menjurus ke sosialisme dan komunisme. Oleh sebab itu masalah sosial (die soziale Frage) merupakan masalah utama abad ke-19 dan “masalah hidup atau mati bagi masa depan” (Lebensfrage für die Zukunft). Oleh sebab itu Jerman perlu daerah jajahan yang tidak hanya dapat menampung kaum miskin tetapi juga meningkatkan kekayaan Jerman. Karena itu Fabri melihat kolonialisme sebagai salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah sosial di Jerman.
Di samping itu, demikian penjelasan Fabri, kolonialisme juga bermanfaat bagi mereka yang dijajah. “Karakter dasar” para pribumi daerah tropis yang “kurang lebih lemah, lalai, dan malas” dapat diubah kalau mereka dididik oleh orang Eropa untuk berkerja keras. Oleh karena itu “kekuasaan Eropa menjadi syarat mutlak” untuk membudayakan kaum pribumi. Karena berkecimpung di bidang penginjilan luar Eropa, maka Fabri menjadi tertarik pada politik kolonial, tetapi, menurut Fabri, Jerman perlu daerah jajahan terutama karena alasan sosial-politik, dan bukan karena alasan penginjilan.
Menurut Fabri para penginjil perlu mendukung pihak penjajah sementara pemerintah kolonial diharapkan membantu para penginjil dengan menaklukkan daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (Bade 2005:104).[6] Pengalaman Fabri sebagai direktur RMG membuatnya menjadi makin tertarik pada politik kolonial sehingga tahun 1884 ia keluar dari RMG untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada gerakan kolonial Jerman yang dipeloporinya.
Fabri juga amat dekat dengan para industrialis, terutama sejak pada tahun 1869 ia mendirikan Wuppertaler Aktien-Gesellschaft für Handel in den Arbeitsgebieten der Rheinischen Mission (Perseroan untuk Perdagangan di Wilayah Kerja RMG, Wuppertal) yang biasanya disingkat Missions-Handelsgesellschaft (Serikat Dagang Misi) atau MHG dengan modal awal 50.000 Taler yang didapatkannya dari pengusaha-pengusaha di sekitar Wuppertal. Usaha Fabri ini disambut baik mengingat bahwa RMG selalu kekurangan dana. Sebagian besar dana RMG berasal dari sumbangan para pendukung di Jerman, tetapi jumlah uang yang dapat mereka kumpulkan tidak pernah cukup untuk membiayai puluhan penginjil di Indonesia, Afrika, Papua-Niugini, dan di Cina. Mengatasi masalah keuangan dengan ikut berdagang kelihatan sebagai ide yang baik.
Selain ikut berdagang, Fabri (1879) juga menawarkan jasa kepada pemerintah Kerajaan Jerman agar para penginjil merintis jalan untuk mendirikan daerah jajahan baru di Afrika Tengah. Melalui MHG para penginjil diharapkan merintis perdagangan yang nantinya akan berujung pada penjajahan. Para penginjil juga diharapkan untuk merintis perkebunan dengan hasil bumi yang menguntungkan.
Untuk tujuan itu Fabri mengusulkan untuk mendirikan pos-pos zending di pantai barat dan pantai timur Afrika Tengah dengan menekankan bahwa para penginjil “cocok menjadi perintis untuk perusahaan-perusahaan perdagangan dan aneksasi kolonial yang akan menyusul”. Oleh sebab itu ia menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi pemerintah Jerman untuk menyadari bahwa penginjilan “sangat bermanfaat, dan pada kondisi-kondisi tertentu malahan menjadi syarat mutlak”[7] untuk ekspansi kolonial. (Bade 2005:145)
Upaya Fabri didukung antara lain oleh teolog Gustav Warneck yang menyebut zending sebagai “perintis perdagangan internasional” (AMZ 5, 1878, hal.67) dan menekankan bahwa jasa itu disediakan dengan cuma-cuma.
Pada awalnya Serikat Dagang MHG cukup berhasil. Sama dengan pedagang lainnya para penginjil menjual pakaian, berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, terutama yang dari besi, dan bahan pangan. Hanya alkohol, yang menjadi barang dagangan sangat laku, tidak mereka jual. Melalui MHG pihak RMG malahan memperjualbelikan senjata dan amunisi kepada suku-suku pribumi – suatu kegiatan yang sangat menguntungkan (Paczensky 1991: 344). Bahwa RMG benar-benar terlibat dalam perdagangan senjata dan memasok senjata pada suku-suku yang bertikaian telah dibuktikan oleh Bade (2005:106). Perdagangan senjata dan amunisi terjadi pada tahun 1879-1880, jadi pada kurun waktu yang sama ketika di Sumatra orang Batak yang beragama Kristen dipersenjatai oleh tentara kolonial Belanda untuk menumpaskan perjuangan Singamangaraja.
Barang dagangan MHG ditukar dengan ternak, bulu burung unta, dan gading (Rohden 1888:327). Awalnya menguntung, lama-kelamaan P.T. Dagang Zending Barmen merugi, terutama karena hewan itu sudah mulai punah:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Semua orang ikut berburu. Hewan apa saja yang dapat dibunuh, mereka tikam atau tembak. Baik yang jantan maupun yang betina, dan bahkan anak hewan dibinasakan sehingga tiada lagi yang dapat diburu (Rohden 1888:330).[8][/icon_text]Lalu mereka berupaya untuk memperdagangkan kawanan lembu milik suku Ova Herero, tetapi usaha itu pun gagal karena terlalu banyak hewan mati selama perjalanan panjang di gurun pasir (ibid.). Lalu ketika pada tahun 1880 pecah perang antara suku Naman dan Herero maka terpaksa P.T. Dagang Zending gulung tikar.
Tidak semua orang di RMG setuju dengan kebijakan Fabri yang pro-industri, dan kecenderungan Fabri untuk bersekongkol dengan para industriawan, apalagi kegagalan usaha-usaha Fabri yang diharapkan akan mendatangkan dana bagi RMG akhirnya menjadi penyebab bahwa Fabri terpaksa mengundurkan diri dari jabatan sebagai direktur Rheinische Mission.
Sesudah kepergian Fabri kebijakan RMG berubah drastis, dan pada tahun 1884 para penginjil diimbau:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Tugas kalian adalah menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa sementara mereka hendak memperkaya diri, membuka usaha perdagangan dan industri dan mereka tidak peduli sedikit pun kalau rakyat melarat. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol, Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-dapatnya melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh bangsa putih. […]. Jauhkan diri dari segala masalah politik.[9][/icon_text]August Schreiber yang menggantikan Fabri berupaya untuk menjaga jarak dengan pemerintah kolonial:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Kolonisasi bertujuan untuk menambah kekuasaan dan kehormatan tanah air kita yang tercinta sedangkan penginjilan demi kebesaran kerajaan Allah dan demi kehormatan raja kita di surga Yesus Kristus. Oleh sebab itu kedua urusan itu jangan dicampur karena bermanfaat bagi kedua belah pihak bila ada pemisahan yang jelas antara kedua urusan tersebut. Dari sejarah kita mengetahui betapa buruknya bila penginjil berupaya menjadi penjajah, dan sama buruk hasilnya bila pemerintah berupaya menyebarkan injil.[10][/icon_text]Namun Schreiber pun tetap berkeyakinan bahwa perampasan wilayah adalah hal yang wajar, dan bahwa para pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah, dan ia mengeluh bahwa “sayang sekali hal ini jarang disadari oleh bangsa yang ditaklukkan”.
Catatan
[1] Sechste Kontinentale Missionskonferenz (Bremen 20-23 Mei 1884).
[2] Lihat publikasi A. Merensky: Was lehren uns die Erfahrungen, welche andere Völker bei Kolonisationsversuchen in Afrika gemachten haben? (Kita bisa belajar apa dari upaya penjajahan oleh negara-negara asing di Afrika?), Berlin 1880; dan Wie erzieht man am besten den Neger zur Plantagenarbeit? (Bagaimana cara terbaik mengajar si Negro menjadi buruh perkebunan?), Berlin 1912.
[3] Westdeutscher Verein für Kolonisation und Export.
[4] Deutscher Kolonialverein.
[5] Carl Peters Gesellschaft für deutsche Kolonialisten.
[6] Fabri sendiri pda tahun 1880 pernah meminta perlindungan untuk para penginjil di Teluk Paus (Walfischbai, Afrika Barat Daya) dari kementerian luar negeri Jerman, namun kanselir Bismarck menolak permintaan Fabri. (Bade 2005: 335)
[7] “Höchst nützlich, unter Umständen sogar unentbehrlich”.
[8] “Alles, was auf die Beine zu bringen war, zog aus auf die Jagd. Da wurde totgeschlagen und totgeschossen alles, was zu erreichen war, männlich und weiblich. Von Schonung des Nachwuchses war keine Rede. Die Folge war, dass in der Nähe bald nichts Jagdbares mehr zu finden war.”
[9] “Eure Aufgabe ist es, Christum zu predigen und die Seele Eures Volkes zu retten; jene aber wollen sich selbst bereichern, wollen Handel, Gewerbe, Industrie, unbekümmert, ob das Volk darüber zugrunde geht. Noch nirgend ist in der Heidenwelt eine europäische Kolonie entstanden ohne die schwersten Ungerechtigkeiten. Portugiesen und Spanier, Holländer und Engländer haben darin ziemlich gleichen Schritt gehalten. Die Deutschen werden es schwerlich viel besser machen, und Ihr werdet die Aufgabe haben, Euer Volk vor Mißhandlungen und Vergewaltigung der Weißen zu schützen, solange Ihr könnt […]. Haltet Euch von allen politischen Fragen fern.” Deputation Rheinische Mission kepada Namakonferenz, 29-12-1884, ARM M SWA, hal. 86–89. Dikutip dari Bade 205:225-226.
[10] “Kolonisation dient zur Ausbreitung der Macht und des Ansehens unseres lieben deutschen Vaterlandes, die Mission dagegen will dienen zur Ausbreitung des Reiches und der Ehre unseres himmlischen Königs, Jesus Christus. So wolle man auch hier nicht verschiedenartige Dinge durcheinandermischen oder miteinander verwechseln; es wird beiden zugute kommen, wenn man sie reinlich und deutlich auseinander hält, denn die Geschichte kann uns lehren, dass noch niemals gute Resultate dabei herausgekommen sind, wenn die Missionare Kolonien gründeten, noch wenn die Kolonialmacht missionierte.”