oleh Uli Kozok
Sama dengan kata ‘rasisme’, kata ‘nasionalisme’ pun masih belum dikenal pada abad ke-18.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Dalam Theories of Nationalism Anthony D. Smith (1971) menyebut empat keyakinan yang menandai seorang penganut paham nasionalisme:
- Keyakinan bahwa umat manusia secara alamiah dibagi atas bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok etnik yang masing-masing memiliki karakter nasional, sejarah nasional, serta takdir sendiri-sendiri. Perdamaian dan keadilan global menuntut adanya dunia yang terdiri atas bangsa-bangsa yang otonom.
- Keyakinan bahwa individu untuk bisa menjadi bebas harus menjadi bagian dari suatu bangsa, dan mengidentifikasikan diri dengan bangsanya. Hal itu menyebabkan seorang individu menjadi setia pada bangsanya dan kesetiaan kepada bangsa adalah prioritas utama baginya.
- Keyakinan bahwa sebuah bangsa hanya dapat berkembang apabila memiliki negara dengan pemerintahan sendiri.
- Keyakinan bahwa bangsa itu merupakan satu-satunya sumber kekuasaan politik.
Menurut penganut paham nasionalisme suatu bangsa harus memiliki otonomi yang utuh, dan bisa mengatur diri sendiri, memiliki kesatuan wilayah, dan memiliki identitas nasional yang dalam bahasa Jerman disebut Volkscharakter ‘watak bangsa’.
Nasionalisme sering disebut sebagai sejenis “agama politik” karena memang ada banyak kemiripan antara agama dan nasionalisme. Keduanya melibatkan emosi atau semacam getaran jiwa, keduanya memiliki sistem kepercayaan, doktrin, dan ajaran yang tertentu, keduanya memiliki upacara dan ritual, dan keduanya memiliki kelompok penganutnya.
Baik nasionalisme maupun rasisme mempunyai landasan ideologis yang berakar pada ide-ide zaman pencerahan dan zaman romantik yang secara ekonomi ditandai oleh oleh perubahan dari masyarakat pertanian kepada lahirnya sistem kapitalis dan komersial dengan munculnya kaum borjuis, dan secara ideologis ditandai oleh munculnya perhatian pada individu dan berkurangnya perhatian pada teologi dan metafisika. Zaman pencerahan itu juga zaman rasionalisme yang ditandai oleh berkembangnya ilmu pengetahuan.
Istilah nasionalisme untuk pertama kali digunakan oleh Johann Gottfried von Herder (1744–1803). Namun pengertian ‘nasionalisme’ baginya bukan dalam arti sempit sebagaimana dipakai oleh kebanyakan nasionalis. Nasionalisme Herder bukan chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan) yang menempatkan bangsanya sendiri di atas bangsa yang lain. Lain dengan banyak nasionalis Jerman di kemudian hari yang yakin akan keunggulan bangsa Germania dan amat membenci Prancis dan bangsa-bangsa Slavia,[1] Herder malahan sangat menghargai budaya dan Volkscharakter Slavia, dan mengilhami timbulnya nasionalisme Slavia.
Nasionalisme yang berlebihan sering diiringi oleh rasisme. Di Jerman, kebencian terhadap kaum Yahudi yang oleh sebagian orang dianggap sebagai ras inferior berakibat pada pembantaian terhadap kaum Yahudi. Di berbagai negara bagian di Amerika Serikat perkawinan antar-ras malahan dilarang dan larangan itu berlaku hingga tahun 1967. Tergantung pada negara bagian, peraturan-peraturan itu berbeda-beda, tetapi selalu dimaksud untuk ‘melindungi’ bangsa putih agar tidak ‘tercemar’ oleh darah yang bukan murni Eropa. Negara bagian Arizona, misalnya, mengeluarkan undang-undang pada tahun 1865 yang melarang perkawinan antara orang putih dengan orang hitam, namun pada tahun 1931 larangan itu diperluas mencakup bangsa India dan bangsa Melayu: “The marriage of a person of Caucasian blood with a Negro, Mongolian, Malay or Hindu is null and void.”[2] Apabila ada anak yang lahir dari hubungan antara seorang putih dengan seorang yang non-putih maka secara otomatis keturunan itu dianggap hitam. Peraturan tersebut menjadi terkenal sebagai one-drop rule yang berarti apabila seorang memiliki hanya setetes darah hitam ia tetap dianggap hitam.
Pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-19, rasisme di Eropa mendapatkan dimensi baru seiring munculnya zaman imperialisme (1870–1914) ketika sejumlah negara, terutama dari Eropa, tetapi juga Amerika Serikat, dan Jepang, berlomba-lomba untuk menguasai dunia, biasanya dengan mendirikan kawasan jajahan. Rasisme erat terkait dengan imperialisme dan kolonialisme sebagai ideologi yang membenarkan penindasan dan penjajahan bangsa “berwarna” dengan dalih bahwa bangsa kulit putih lebih unggul secara biologis dibandingkan penduduk di luar Eropa.
Kepercayaan atas keunggulan bangsa Eropa dan perlunya kolonialisme demi membawa peradaban dan agama Kristen kepada bangsa-bangsa “kafir” dan “primitif” di Afrika dan di Asia, merupakan bagian penting dari pendidikan yang diperoleh para calon misionaris di seminaris RMG di Barmen.
Melalui pendidikan yang mereka peroleh di seminaris maka para misionaris RMG tidak hanya dipengaruhi oleh teologi kebangkitan yang dipupuk oleh nasionalisme Herder, tetapi juga oleh rasisme yang dibalut dalam kemasan keagamaan.
Catatan
[1] Bangsa Germania biasanya didefinisikan berdasarkan bahasa. Rumpun bahasa Germania termasuk Jerman, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, Islandia, dan Inggris. Bangsa Slavia merujuk pada kelompok etnis dan bahasa di Eropa Timur, terutama di Rusia, Ukraina, Polandia, Ceko, Belarus, Slowakia, Slovenia, Kroasia, Serbia, Montenegro, Bulgaria, Makedonia dan Bosnia-Herzegovina.
[2] Sejak 1967 semua undang-undang yang melarang perkawinan antar-bangsa dibatalkan.