Orang-orang yang memainkan peranan penting pada sejarah masuknya injil ke Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter Johannes Veth, Herman Neubronner van der Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang disebut dalam publikasi yang berkaitan dengan sejarah penginjilan di Indonesia. Padahal ahli botani F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil dibawa ke Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemudian menarik perhatian direktur Lembaga Alkitab Belanda (Nederlands Bijbelgenootschap – NBG) P. J. Veth yang mengutus H.N. van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan menerjemahkan injil ke dalam bahasa Batak, sementara Friedrich Fabri bisa disebut sebagai ‘otak’ di balik penginjilan orang Batak.
Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864) lahir di Mansfeld, Kerajaan Westfalia (sekarang menjadi bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia dipaksa menjadi seorang dokter namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia pindah ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menjadi warga negara Belanda. Karena ingin ke Hindia-Belanda maka ia mendaftar di tentara Belanda sebagai dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba di Jawa dan pada tahun 1840 ia ditugaskan ke Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang pejabat tinggi yang pada awal tahun 1841 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berkat bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka.
Pada waktu itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk tidak memperluas wilayah Hindia Belanda melainkan membatasinya pada Jawa, Maluku, dan beberapa daerah di Sumatra. Karena politik tidak campur tangan dalam urusan raja-raja di Nusantara (onthoudingspolitiek) maka Belanda tidak mempunyai rencana konkret untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah ada beberapa raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada Belanda maka pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan daerah yang nantinya dapat dipergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk ke Tanah Batak.
Informasi yang dicari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah. Mereka ingin mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan sungai, jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb. Junghuhn juga diminta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan, adat, dan pemerintahan di Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga tentang kanibalisme.
Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak terbatas sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki Junghuhn lama tinggal di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguh-sungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama di daerah Batak. Sesudah menetap di Barus selama delapan belas bulan terpaksa Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspedisi pertama Junghuhn ke Tanah Batak merdeka dimulai pada pertengahan November 1840 dan membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit.
Perjalanan kedua dimulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspedisi yang pertama Junghuhn didampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan pembantunya yang terdiri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sendiri menjadi pegawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya dipersenjatai dengan bedil yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25 orang (Angerler 1993: 6).
Walaupun sakit-sakitan selama berada di Tanah Batak, Junghuhn sempat menulis dua jilid buku hasil penelitiannya berjudul Die Battaländer auf Sumatra. Bukunya dibagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras, kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan, musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian, peternakan, dan irigasi.
Sesuai dengan permintaan pemerintah kolonial yang mempekerjakannya, Junghuhn memberi rekomendasi bagaimana “orang Batta dapat dijadikan warga negara yang patuh”[1]. Antara lain ia memberi saran agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menjadi kepala pemerintahan karena hal itu akan dimanfaatkan untuk memberontak melawan Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli tanpa pemerintahan pusat karena hal itu membantu menaklukkan orang Batak. Menurut Junghuhn daerah Batak lebih baik diperintah langsung oleh Belanda. Perlu dicatat di sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda biasanya tidak suka bila bangsa pribumi diperintah langsung oleh pegawai Belanda karena biayanya lebih tinggi. Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menjadi salah satu dari tidak banyak wilayah di Indonesia yang diperintah secara langsung.
Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat digolongkan liberal. Ia amat kecewa melihat keadaan tanah airnya: “Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan, kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang dihalalkan oleh gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa, pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat – perang! – kapal dan benteng pertahanan diledakkan, ribuan manusia dikorbankan dalam sedetik; orang saling mencurigai, benci…” Junghuhn terutama menyalahkan agama Kristen untuk keadaan Eropa yang begitu menyedihkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya penginjilan di Jawa.
Apa alasan maka dalam Die Battaländer auf Sumatra Junghuhn yang sendiri anti-Kristen menyarankan agar pemerintah kolonial memperkenalkan agama Kristen pada orang Batak? Ternyata untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam” (Junghuhn, 1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama Islam di Tanah Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”. Agar cepat orang Batak masuk Kristen dan jangan telanjur menjadi Islam maka ia tidak keberatan “bila konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal”. (Junghuhn, 1847b:83 catatan kaki)
Dalam BAB 1 yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1 tentang watak, adat, dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang, ditinjau dari sudut pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat adanya kemiripan antara bangsa Batak dan bangsa Eropa!
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Tingkat budaya orang Batak tidak dapat dikatakan rendah walaupun tentu masih jauh dari bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun muka tampak bahwa orang Tobah yang belum bercampur [dengan bangsa lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras Mongoloid. Tubuhnya menunjukkan kemiripan dengan ras Hindu-Kaukasus (Indo-Eropa). Muka mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah daripada orang Melayu. (Junghuhn, 1847a:275)[/icon_text]Warna kulit yang cokelat cenderung menjadi putih, terutama pada perempuan yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya kelihatan kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus, pada perempuan, cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang Melayu atau orang Jawa, hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan proporsi tubuhnya seimbang.”[2] (ibid. hal. 7)
Anehnya kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan Batak!
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Bentuk muka oval yang dapat disebut sub-Yunani lebih sering dapat ditemukan pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung memiliki wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.)[/icon_text]Uraian Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth (1814-1895), guru besar pada Universitas di Leiden dan pendiri Indisch Genootschap, yang sejak 1843 menjadi anggota dewan pimpinan Nederlands Bijbelgenootschap (NBG)[3]. Pada rapat tahunan NBG tahun 1847 Veth membacakan halaman 275 dari buku Junghuhn Die Battaländer auf Sumatra kepada anggota-anggota dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan bahwa penginjilan orang Batak perlu dilaksanakan.
NBG langsung memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat muda, untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der Tuuk lahir di Melaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu yang separuh Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menjadi wilayah Inggris sebagai akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke Surabaya. Tahun 1836 Herman Neubronner van der Tuuk disekolahkan ke Belanda dan mulai tahun 1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, di Groningen dan di Leiden. Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta.
Kerena bakatnya yang luar biasa – ia dikatakan bisa mempelajari sebuah bahasa dalam waktu hanya tiga bulan – maka ia dipekerjakan oleh NBG untuk meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan alkitab injil. Selama berada di daerah Batak (1851-1857) Van der Tuuk menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) – Belanda, menyusun tata bahasa Toba yang menjadi terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah di Hindia Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan Pakpak.
Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van der Tuuk adalah seorang ateis namun di lain pihak NBG juga sadar akan kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina para penginjil sebagai “pengobral buku murahan” ia juga bersikap setia pada NBG sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang sama dengan Junghuhn: Orang Batak harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatra.
Pada tanggal 23 Agustus 1856, pada waktu van der Tuuk sudah hampir menyelesaikan penelitiannya terhadap bahasa Batak[4], NBG mengirim surat kepada Menteri Urusan Jajahan memberi tahu bahwa NBG telah mengadakan peneltian bahasa Batak, dan hendak menyebarkan agama Kristen untuk menghindari agama Islam dapat masuk ke Tanah Batak. Mengingat bahwa agama Islam pada hakikatnya bersifat anti-Belanda maka pengkristenan orang Batak juga menjadi kepentingan pemerintah. Oleh karena itu NBG meminta agar pemerintah Hindia-Belanda jangan menggunakan huruf Arab dalam mata pelajaran bahasa Melayu. Mereka juga minta agar para pegawai negeri hendaknya diangkat dari kalangan Batak Kristen dan supaya mereka berbahasa Batak dan bukan bahasa Melayu di kantor. (Aritonang 2005:110-111)
Tidak diketahui bagaimana pemerintah Hindia-Belanda menanggapi surat itu, namun pemerintah punya kepentingan sendiri. Penggunaan bahasa Melayu yang sudah menyebar ke mana-mana di Nusantara tentu lebih praktis, dan mereka juga terikat pada kebijaksanaan pemerintah yang mewajibkan pegawai pemerintah untuk bersikap netral dalam hal agama. Namun demikian, khususnya di Tanah Batak, pemerintah setempat cenderung untuk bersikap mendukung para penginjil RMG.
Upaya penginjilan di Tanah Batak dipelopori oleh Hermanus Willem Witteveen (1815–1884) yang pada tahun 1859 mendirikan Jemaat Zending (Zendingsgemeente) dan Gereja Zending (Zendingskerk) di Ermelo.[5] Seusai kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang seharian bekerja sebagai pengembala kambing mendatangi Pastor Witteveen karena hendak menjadi penginjil. Suatu hari ketika pemuda yang bernama Gerrit van Asselt (1832–1910) itu berada di ladang ia tiba-tia mendengar Mazmur 96:2 “Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita.” Beberapa minggu kemudian ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu” (Groot 1984: 90). Pemuda setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Lalu Witteveen menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) dengan permintaan agar Van Asselt bisa ditermina sebagai tukang di zending NZG. Akan tetapi permintaan itu ditolak dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing. Selain itu Van Asselt dianggap terlalu fanatik (Groot 1984: 91). Namun akhirnya Witteveen berhasil untuk meyakinkan Persatuan Pendukung Zending Perempuan Amsterdam (Amsterdamsche Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zendingszaak) yang dipimpin oleh Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Di seminaris di Amsterdam Van Asselt belajar bahasa Melayu dari IsaäcEsser (1818–1885) yang dari 1861–1864 menjadi Residen di Timor. Esser sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan tujuan untuk mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar Van Asselt menjadi penginjil di Sumatra untuk “menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk Tuhan” (Groot 1984: 91-93). Pada tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang menerjemahkan alkitab Injil ke dalam bahasa Melayu) ke Batavia. Setiba di sana ia minta izin pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar –sesuai dengan amanat Esser– menyebarkan injil di antara orang Minangkabau. Namun permintaannya ditolak karena daerah itu sudah menjadi Islam. Untuk membantunya, Gubernur menawarkan agar Van Asselt menjadi administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil menyebarkan injil.[6] (Groot 1984: 91-93)
Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser ketika beliau berceramah tentang Sumatra di muka “Persatuan Pemuda Pekerja” di Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka ditahbiskan oleh Pastor Witteveen. Pada tahun 1859 Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu Friedrich Wilhelm Betz (1832–1881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk mendampingi Van Asselt yang sudah berada di Sipirok. Ketika mereka bergabung dengannya di Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator perkebunan kopi untuk bersama dengan Betz membuka pos zending di Silindung. Namun permintaan Asselt ditolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena pemerintah tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan zending ke Angkola. Betz bertugas di Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 1869[7] sementara Dammerboer, Koster dan Van Dalen membuka pos di Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara Van Asselt tetap di Parau Sorat (Sipirok). Dammerboer lalu memutuskan untuk meninggalkan zending. (BRMG 1910:253-257; Groot 1984: 93-94)
Pada tahun 1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang berkedudukan di Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan penginjil RMG dibunuh ketika Perang Banjar meletus di Kalimantan sementara penginjil yang lain diamankan ke Pulau Jawa.
Ketika itu Friedrich Fabri (1824-1891) menjadi Direktur RMG (1857-1884). Fabri lalu berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan menempatkan para misionaris yang sedang berada di Jawa di tempat yang lain. Sewaktu berada di kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der Tuuk. Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan Van der Tuuk yang pada saat itu sedang berada di Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Pastor Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zendingskerk Ermelo dengan RMG.
Setelah dirundingkan dengan Pastor Witteveen maka diputuskan agar ketiga misionaris dari Ermelo yang sudah ada di Sumatra, yaitu Van Asselt, Betz, dan Dammerboer selanjutnya dipekerjakan oleh RMG dan diperbantukan oleh tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz, Heine dan Klammer (Dammerboer sudah meninggalkan zending sedangkan Denninger masih berada di Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan kelanjutan penginjilan di Tanah Batak. Betz ditempatkan di Bunga Bondar, Klammer di Sipirok, dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru di Pangaloan. Tanggal 7-10-1861 kini dianggap sebagai hari jadi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak lama kemudian L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya Nommensen ditempatkan di Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk bergabung dengan keempat penginjil yang sudah berada di sana.
Misi di daerah-daerah selatan (pos zending di Sipirok, Bunga Bondar, dan Parau Sorat) berada di wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak penganut agama Islam dan terutama pada periode sekitar 1867–1871 ada kemajuan yang pesat di daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah tercatat hampir 700 penganut agama Kristen. Namun pada tahun-tahun berikut tidak ada lagi kemajuan yang berarti. Di Bunga Bondar misalnya hanya ada 308 orang Kristen pada tahun 1873, dan jemaatnya tidak bertambah karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam (JB 1873:27). Keadaan yang sama juga dilaporkan dari Sipirok dan Parau Sorat (JB 1874:12).
Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah ditempatkan di Sumatra, Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan disambut dengan baik, namun pemerintah melarangnya untuk menetap di Toba. Pemerintah tidak bersikap anti-zending dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para penguasa takut bahwa kehadiran misionaris akan mengakibatkan adanya pemberontakan sebagaimana terjadi di Kalimantan tahun 1859 (Perang Banjar). Karena tidak dapat menetap di Toba terpaksa Nommensen ditempatkan dulu di Parau Sorat. Pada November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk melacak kemungkinan akan diterima di sana, namun sambutan penduduk tidak begitu hangat: “Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak beralasan) bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yang menetap di antaranya hal itu pasti akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah pemerintah Belanda.” [8] (JB 1863:46)
Baru pada bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas Lumbantobing, pindah ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan yang hebat dari penduduk, ia berhasil membaptis beberapa keluarga di bulan Agustus 1865. Setahun kemudian Nommensen didampingi oleh Peter Hinrich Johannsen (1839-1898) yang juga berasal dari Schleswig (tempat kelahiran Johannsen, Weddingstedt di Holstein, tidak jauh dari kampung halaman Nommensen). Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan perjanjian lama ke dalam bahasa Batak, mendirikan pos zending yang baru di Pansur na Pitu (1867) dan menjadi misionaris dan guru di sana hingga ia meninggal pada tahun 1898.
Walaupun RMG mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan di Silindung mereka prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zending baru di Sipoholon (1870), Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang Kristen, walaupun masih minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun 1870an golongan Batak Kristen di Silindung sudah cukup besar untuk menjadi kekuatan sosial dan politik.
Catatan
[1] “…die Battäer zu gehorsamen Unterthanen zu machen.”
[2] Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so daß selbst ein schwaches Rosenroth der Backen hindurch schimmert. Dabei sind die Haare nicht schwarz, sondern gewöhnlich, und bei den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien und Javanen. Der Körper ist wohlgebaut, stark muskulös.
[3] NBG itu bukan lembaga zending dalam arti yang sebenarnya karena tidak menyediakan zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan terjemahan alkitab.
[4] Van der Tuuk menulis sebuah kamus (Tuuk 1864), sebuah tata bahasa (Tuuk 1867), beberapa buku bacaan (Tuuk 1860, 1861a-c, 1862), dan Perjanjian Baru dalam tujuh bagian (Tuuk 1853, 1859a-d).
[5] Pastor Witteveen menjadi salah seorang pendiri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat Injil Bebas) di Belanda.
[6] Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zending Batak diprakarsai oleh Van Asselt yang dianggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas yang sedemikian berat.
[7] Christian Philip Schütz (1838–1922) menjadi pengganti Betz di Bunga Bondar dari tahun 1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schütz hanya sekali berlibur ke Jerman (1893–1895).
[8] Komentar yang di kurung bukan tambahan penulis tetapi tercantum dalam teks asli.