Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah. [1]BRMG
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.”[2] Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa”.[3]
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling [4] Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda. Yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. [5]
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.
Kerjasama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangharaja XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.
Walaupun peran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama [6] (1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di zaman kemerdekaan: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII dengan Zending.
Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-duanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema.
Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII” berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.
Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L. Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 di Zendingsdrukkerij Laguboti setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 10.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik “(hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya […] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda:
Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini. […] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah. [7]
Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama Islam, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:
Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan. [8]
Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras oleh surat-kabar Hindia Belanda karena tindakan mereka yang “bengis dan keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut:
Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK] diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan. [9]
Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada Singamangaraja:
…semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan [10]
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda:
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus. [11]
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”.[12] Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen”[13] sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG.
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka:
Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga [14], tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda]. [15]
Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak:
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini. [16]
Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta […] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar. [17}
Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. [18]
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?” [19]
Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja – hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara.[20] Menarik untuk dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.
Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III Humbang, disebutkan bahwa,
…selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.
Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak:[21]
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah berbeda, tetapi di berbagai bidang kepentingan mereka sejajar. Baik zending maupun pemerintah kolonial melihatnya sebagai tugas mereka untuk membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.
Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:
Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.” [22] […] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.” [23]
Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
• Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang. [24]
• Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan. [25]
• Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. [26]
• […] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami. [27]
Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
• Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh. [28]
• Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. […] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. [29]
• Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh. [30]
• Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya. [31]
• Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. [32]
• Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh. [33]
• Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami. [34]
• Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang. [35]
• Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. [36]
• Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya. [37]
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para misionaris jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:
„Berkat tangan Tuhan,“ demikianlah tulisnya penginjil Nommensen, „dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah.” [38]
Perlu ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Medan:
Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya, kagum saja tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal. […] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. [39]
Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand yang bukan saja sebangsa tetapi juga sesuku dengan saya, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris. Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-21. Bila seorang Jerman sekarang mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal. Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi negara yang paling maju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan. [40]
Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG. Makalah ini hanya akan menyentuh saja kerangka teologi yang dimiliki oleh para pemimpin dan guru seminaris RMG, dan pembaca yang ingin mengetahuinya secara lebih spesifik dianjurkan membaca artikel Johann (Hans) Angerler berjudul Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra.
Di antara guru seminaris ada dua tokoh yang paling berpengaruh: G.L. von Rohden (1815–1889) dan F. Fabri (1824–1891). Menurut von Rohden warna kulit suatu bangsa memperlihatkan tingkat dekadensinya. Makin hitam warna kulit makin parah kemerosotan bangsa itu baik secara moral maupun intelek. [41] Menurutnya bangsa yang dipilih Tuhan adalah bangsa Israel, tetapi setelah Yesus Kristus datang ke bumi maka pusat sejarah dunia berpindah, pertama ke barat (Roma), lalu ke utara (Jerman). Bangsa Jerman dan bangsa Germania lain (Belanda, Skandinavia dan Inggris) dilihatnya sebagai bangsa yang unggul yang dikelilingi bangsa yang lebih rendah seperti Perancis dan Rusia yang hendak menghancurkannya dengan membawa “bibit setan yang tumbuh subur di negerinya” untuk memusnahkan bangsa Jerman.
Ideologi itu dibawa para penginjil ke Tanah Batak. Di situ pun bangsa terpilih (Batak) dikelilingi oleh bangsa Melayu yang hina, berdosa, dan berada dalam pengaruh “kekelaman agama Islam yang mengerikan” yang hendak menghancurkan bangsa Batak. Tujuan zending ialah untuk “mengubah kanibal yang kasar menjadi manusia bermartabat, mengubah gerombolan pembunuh berdarah dingin menjadi paroki Kristen, mengubah orang liar yang malas, kotor, tak senonoh dan keji menjadi abdi Tuhan yang beriman, rendah hati, dan penuh kasih sayang.” Von Rohden menjadi guru sejarah, geografi, antropologi, dan sejarah agama, dan mulai 1884 hingga 1889 ia menggantikan Fabri sebagai Direktur RMG. [42]
Menurut Fabri, orang Batak merupakan bangsa yang, bila dibandingkan dengan bangsa lain di Indonesia, relatif lebih unggul, dan jelas tidak serendah bangsa Melayu. Fabri malahan melihat adanya persamaan dengan ras Eropa:
Dibandingkan orang Melayu, mereka [orang Batak, UK] jauh lebih mirip dengan orang Indo-Germania, baik bentuk kepala, tubuh, dan warna kulitnya. Warna kulitnya sedemikian coklat muda sehingga malahan ada yang pipinya kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lembut dan lebih padat daripada rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras Eropa dan Melayu. [43]
Fabri yang menjadi Direktur RMG dari tahun 1857–1884 memiliki latar belakang ideologi yang mirip dengan von Rohden. Ia juga percaya pada keunggulan ras putih. Peristiwa yang membuat ras putih unggul, menurutnya, adalah pembangunan menara Babel yang melambangkan keangkuhan dan kesombongan manusia. Pembangunan menara ini diprakarsai oleh keturunan Ham maka mereka memikul dosa yang terberat sementara keturunan Yafet yang paling sedikit berdosa.
Menurut buku Genesis maka Sem, Ham dan Yafet, ketiga anak nabi Nuh, menjadi nenek moyang semua orang di dunia. Dalam Genesis 9:20-28 anak Ham, Kanaan, dikutuk nabi Nuh: “Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya. Pujilah Tuhan, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem. Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet.”
Menurut Genesis 10 maka anak-cucu Yafet menjadi “leluhur bangsa-bangsa yang tinggal di sepanjang pantai dan di pulau-pulau” (Eropa), Sem menjadi leluhur bangsa Ibrani, sementara keturunan keempat anak Ham, yaitu Kus, Mesir, Libia dan Kanaan, tersebar paling jauh.
Dengan demikian, dunia ini terbagi dalam tiga kelompok utama: Eropa atau ras putih (keturunan Yafet), Bangsa Israel (keturunan Sem), sementara semua bangsa yang lain termasuk keturunan Ham yang ditakdirkan menjadi budak keturunan Yafet.
Dengan demikian, menurut ideologi para teolog RMG, maka layak keturunan Yafet (orang Eropa) menjajah tanah keturunan Ham dan membuat penduduknya menjadi budaknya.
Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri yang memengaruhi para penginjil termasuk Nommensen – dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek. Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan mereka supaya mereka menjadi lebih beradab. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, mereka tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.
Dengan demikian tidak mengherankan bila para penginjil merasa lebih dekat kepada Belanda daripada kepada orang Batak.
Sidjabat dan pengarang lain sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda. Para penginjil RMG berbangsa Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena sebagaimana dijelaskan di atas penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan para penginjil bahwa mereka tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama mereka dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. [44]
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah [45]) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda.
Namun yang lebih penting lagi ialah kenyataan bahwa menurut ideologi rasis yang dianut di kalangan RMG, Belanda sebagai salah satu bangsa Germania merupakan bangsa yang sama unggul dengan bangsa Jerman.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: […] [46]
Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama.
RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan politik, tidak hanya di Hindia Belanda tetapi juga di wilayah kerja yang lain seperti di Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dan untuk mendukung pemerintah kolonia. Sejak pemberontakan Herero pada tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan kemerdekaan masyarakat hitam di Afrika Selatan. Demikian juga di Tanah Batak. Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh di kalangan orang Batak, dan ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sendiri nasib gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah menakdirkan orang putih sebagai pemimpin.
Catatan
1. BRMG 1864:232. BRMG (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft) adalah laporan bulanan zending RMG yang diterbitkan sebulan sekali oleh pimpinan RMG. Isinya terutama laporan dari para penginjil dan pimpinan RMG tentang kemajuan di masing-masing wilayah zending serta peristiwa yang terjadi. BRMG diterbitkan khusus untuk kalangan RMG serta para sahabat zending yang sangat penting bagi RMG sebagai salah satu sumber pendanaan yang utama. Artikel BRMG yang berkaitan dengan zending Batak mulai dari hari-hari paling awal hingga tahun 1914 ketika perang dunia pertama pecah dan penerbitan BRMG dihentikan.
2. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahresbericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46. 3. BRMG 1882 (7): 204.
4. Dalam makalah ini saya menggunakan dua istilah bahasa Belanda yang lazim dipakai dalam konteks penginjilan, yaitu zending (penginjilan, misi) serta zendeling (penginjil, misionaris).
5. BRMG 1879 (6): 170
6. Perang Toba juga sering disebut sebagai “Perang Batak” namun istilah Perang Batak sudah duluan digunakan untuk Perang Sunggal (1872-1895) yang juga sering disebut Perang Batak sesuai dengan istilah baku bahasa Belanda yaitu Batak Oorlog.
7. W.B. Sidjabat. Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII, Jakarta: Sinar Harapan. 1982.
8. ibid. hal.160. Sayang Sidjabat tidak menyebut dari sumber mana ia memperoleh informasi ini.
9. BRMG 1878 (7): 194
10. Sidjabat op.cit. hal.176. Rupanya Sidjabat enggan menyebut pihak mana yang dimaksud karena terutama orang Batak yang Kristen yang berkolaborasi dengan Belanda.
11. ibid. hal.159
12. RMG 1878: 118
13. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahresbericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46.
14. Baik di sini maupun di semua dokumen lainnya Sibolga tetap dieja Siboga – nama asli kota itu.
15. Sepucuk Surat dari Penginjil Nommensen. BRMG 1876: 68
16. ibid. hal.68
17. BRMG 1878:118
18. BRMG 1878 (7): 193
19. ibid. hal.193
20. ibid. hal.194. Bangkara kini sering salah dieja Bakara atau, sesuai dengan pelafalannya, Bakkara. Ejaan asli dalam bahasa Batak adalah ‘Bangkara’.
21. Seksi sejarah dan penggalian nilai budaya panitia napak tilas perjalanan Dr. I.L. Nommensen di Tanah Batak. 2007.
22. BRMG 1878: 154
23. BRMG 1878 (7): 194
24. BRMG 1878 (12): 371
25. ibid. hal.373
26. ibid. hal.377
27. ibid. hal.387
28. BRMG 1878: 117
29. op.cit. hal. 154
30. op.cit. hal. 171
31. op.cit. hal. 195
32. op.cit. hal. 197
33. op.cit. hal. 198
34. op.cit. hal. 199
35. op.cit. hal. 200
36. ibid
37. op.cit. hal. 201
38. BRMG 1882 (7): 204
39. Limantina Sihaloho, Kegelisahan Hati Seorang Dosen Teologi: Antara Nommensen dan TB Silalahi, 18 April 2007. http:/ /bataknews.wordpress.com/2007/04/18/teologi-kristen/
40. Jerman baru memperoleh daerah jajahan antara tahun 1884– 1899 namun kehilangannya lagi setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia Pertama.
41. Hans Angerler. Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra. Beiträge zur historischen Sozialkunde 2. 1993 53–61. Lihat juga Lothar Schreiner, Adat und Evangelium: zur Bedeutung der altvölkischen Lebensordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, Gütersloh: Mohn 1972, serta G. Menzel, Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: die Rheinische Mission. Wuppertal: Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission 1978:209–14.
42. Setelah 27 tahun mengabdi pada RMG Fabri, yang memprakarsai zending Batak, memutuskan menjadi penulis dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada gerakan kolonial Jerman.
43. BRMG 1862:12
44. BRMG 1882 (7): 204.
45. ‘Rendah’ merujuk pada kenyataan bahwa daerahnya datar tidak bergunung, bukan pada status bahasa.
46. BRMG 1882 (7): 202.