“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.”
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa” (BRMG 1882:202).
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu untuk meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka yang sia-sia dan untuk mendesak mereka agar menyerahkan diri. (JB 1878:31)[/icon_text]Sementara yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170)[/icon_text]Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.
Secara resmi Perang Toba I hanya berlangsung selama dua bulan namun perlawanan dari pihak Singamangaraja tetap ada. Pada tahun 1880 misalnya pos zending dan gereja di Simorangkir dibakar oleh seorang raja yang berpihak pada Singamangaraja yang menaruh dendam terhadap pendeta Simoneit karena perannya pada ekspedisi militer menumpaskan perjuangan Singamangaraja.[1]
Kerja sama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangaraja XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.
Keputusan Nommensen dan penginjil lainnya untuk meminta bantuan Belanda bertentangan dengan sikap yang pada awalnya Nommensen perlihatkan kepada pemerintah. Ketika Nommensen baru menetap di Silindung ia bersyukur bahwa pemerintah belum memperlihatkan niat untuk masuk ke Silindung:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda].[/icon_text]Nommensen dan para zendeling lainnya khawatir bahwa bersama dengan pemerintah Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini.[/icon_text]Sikap berhati-hati ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta […] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)[/icon_text]Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending pun berkeberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. (BRMG 1878:193)[/icon_text]Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita? (BRMG 1878:94)[/icon_text]Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja – hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi.
Di sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara.
Menarik dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di Silindung.
Walaupun peran dan tujuan Batakmission dan penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama (1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII dengan Zending.
Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-duanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema.
Dr. Walter Bonar Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII” berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.
Sejarawan Batak yang sekaligus tokoh HKBP ini menggunakan sumber baik primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada menggunakan sumber primer, yaitu tulisan L.I. Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang ditulis oleh J.T. Nommensen (anak L.I. Nommensen) berjudul Porsorion ni L. Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 oleh Zendingsdrukkerij Laguboti setelah L.I. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI (Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda) butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas ribuan halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I yang dimuat di BRMG dan yang tulisan asli ada dalam arsip RMG yang kini berada di Vereinigte Evangelische Mission (VEM) di Wuppertal (Jerman) tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia di dalam buku ini.
Sidjabat memang tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik” (hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya […] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini. […] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah. (Sidjabat 1982: 164-165)[/icon_text]Sidjabat tidak menyangkal bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berdalih bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Mengingat bahwa RMG berada di Tanah Batak dengan izin yang sah dari pemerintah kolonial maka pihak pemerintah pasti merasa bertanggung jawab akan keamanan para penginjil, apalagi karena pemerintah telah menerima laporan Nommensen tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang yang beragama Kristen. Bahwa masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung bisa saja (hal tersebut akan diuraikan sebentar lagi), tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan.[/icon_text]Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil RMG bukan secara mutlak anti kekerasan, bukan di Tanah Batak dan juga tidak di Tanah Nama di Namibia, medan zending terbesar RMG. Pasukan bantuan Kristen dikecam keras bukan hanya oleh surat-kabar Hindia Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang “bengis dan keji”. Namun demikian, pasukan yang dipersenjatai Belanda itu tetap dibela pihak zending dengan kata-kata berikut:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK] diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan. (BRMG 1878 hal. 195)[/icon_text]Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Berkat tangan Tuhan, […] dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. (BRMG 1882:204)[/icon_text]Perlu ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa yang, menurut Nommensen, agung dan mulia.
Dalam penulisan sejarah sering timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda. Sidjabat misalnya menyebut “mereka yang mengkhianati perjuangan” hanya secara sekilas saja, dan tanpa menjelaskan pihak mana yang dimaksud: “…semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan.” Dengan demikian timbul kesan seolah-olah hanya sebuah minoritas kecil yang pro-Belanda sementara kebanyakan raja dan rakyatnya mendukung perlawanan Singamangaraja:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.[/icon_text]Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”. Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen” sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG. Namun demikian, pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III Humbang, disebutkan bahwa,
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]…selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.[/icon_text]Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.[/icon_text]Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah sering berbeda, tetapi RMG bersikap sangat jelas dalam hal ini. Bertolak pada tradisi Lutheran yang menekankan kepatuhan pada pemerintah, pihak RMG selalu menganjurkan agar para penginjil mematuhi peraturan pemerintah, dan mengharuskan para penginjil untuk menghormati para pejabat “pada keadaan apa pun”.[2]
Bukan hanya pada peristiwa Perang Toba Pertama maka para zendeling bersikap pro-Belanda. Sikapnya tetap tidak berubah di kemudian hari. Di bawah judul Wie weiter auf Sumatra? (Bagaimana kelanjutannya di Sumatra?) di BRMG 1897 (278-279) zendeling Batakmission menyadari bahwa “penginjilan […] masih ada kendala. Soalnya Samosir masih termasuk ‘Tanah Batak Merdeka’”. Oleh sebab itu “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda mencaplok Samosir.” Lagi pula, konperensi penginjil 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang, dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa”. Lalu zending Batakmission menyarankan pemerintah Belanda bagaimana aneksasi Samosir dapat dilakukan semurah mungkin. Dianjurkan agar Belanda membeli kapal uap sehingga Samosir dapat diperintah dari Balige. Hal itu bukan hanya menghemat biaya tetapi kapal seperti itu juga dapat bermanfaat untuk mengirim pasukan ke Samosir kalau-kalau ada pemberontakan di Samosir yang perlu ditindas, dan juga untuk melindungi orang-orang Eropa (tentu saja yang mereka maksud adalah misionaris itu sendiri) yang ada di Samosir.
Foto RMG 913-484: Gereja di Balige tahun 1895.
Pemerintah Belanda tidak merasa tergesa-gesa untuk menganeksasi Samosir yang baru dilakukan tujuh tahun kemudian. Pada kesempatan itu Ephorus RMG Ludwig Nommensen mengeluarkan pernyataan:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Dengan rasa gembira kami menyambut rencana pencaplokan Samosir dan Pakpak yang akan dilaksanakan pada bulan-bulan berikut. Menurut hemat kami hal itu merupakan kemajuan pesat bagi penginjilan. Kami terutama gembira bahwa daerah-daerah yang bakal dianeksasi akan menjadi bagian dari Residensi Tapanuli dan bukan Aceh mengingat masyarakat di sana [di Pakpak dan Samosir] masih terikat tali persaudaraan dengan Batak Toba. Besar harapan kami agar wilayah yang terletak di sebelah timur Danau Toba, dan di sebelah barat Afdeeling [kabupatan] Asahan juga dianeksasi, dan sejauh mungkin dijadikan bagian daripada Afdeeling Bataklanden.[3] (dikutip dari Schreiner 1996:118)[/icon_text]Menurut Oermann (1999:63) direktur RMG F. Fabri mempromosikan apa yang disebutnya sebagai chauvinisme zending (mission chauvinism) yang menonjol terutama setelah Afrika Barat Daya menjadi jajahan Jerman pada tahun 1884.
Fabri menjadi salah satu direktur RMG yang paling berpengaruh. Selama 27 tahun masa kepemimpian Fabri 160 misionaris dididik di seminaris dan dikirim ke lapangan penginjilan. Fabri menjadi guru dari semua misionaris Batakmission yang berada di Tanah Batak ketika Perang Toba meletus. Nommensen mulai belajar di seminaris Barmen pada tahun 1857. Pada tahun yang sama Fabri memulai tugasnya di RMG sebagai direktur dan sebagai guru RMG. Dari Fabri, tetapi juga dari Rohden, Nommensen, Johannsen, Metzler, Mohri, Püse, dan Simoneit belajar bahwa kepentingan misi sejajar dengan kepentingan pemerintah kolonial.
Seusai Perang Toba Pertama para misionaris Batakmission dengan bangga menulis bahwa selama perang Toba berlangsung orang Batak yang beragama Kristen tetap setia pada Belanda yang mempersenjatai pasukan bantu Kristen itu dengan 50 bedil yang mutakhir:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)[/icon_text]Kesejajaran zending dan pemerintah juga tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen di dalam laporannya tentang Perang Toba yang diterbitkan di buku ini. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
- Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.
- Sekitar pukul 15.00 kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
- Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera.
- […] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami.
- Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
- Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.
- Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. […] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin.
- Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh.
- Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya.
- Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami yang jahat bergerak lagi.
- Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh.
- Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami.
- Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.
- Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang.
- Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya.
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Laporan Nommensen dan penginjil lain juga membuktikan bahwa Sidjabat. Tidak ada jarak antara RMG dan pemerintah, dan para penginjil RMG jelas tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati.
Dalam laporannya Nommensen tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. (BRMG 1882:202)[/icon_text]Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang diperolehnya ketika belajar di seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan keturunan ras Germania yang sama.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: […] (BRMG 1882:202)[/icon_text]Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Catatan
[1] Alasan tersebut diberikan dalam BRMG yang menyebut Perang Toba I sebagai ‘ekspedisi kecil’: “atas permintaan pemerintah, [Simoneit] ikut pada sebuah ekspedisi militer kecil sebagai penerjemah.”
[2] Surat RMG tertanggal 9-5-1989 kepada para penginil di Afrika Barat Daya. Dikutip dari Oermann 1999:61.
[3] Afdeeling Bataklanden merupakan salah satu wilayah administrasi Residentie Tapanoeli.