BRMG 1878 (7) hal. 193-202
Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung di Toba maka sejumlah surat kabar Hindia-Belanda melontarkan berbagai tuduhan kepada penginjil kita. Tuduhan bahwa kita memilih wilayah penginjilan ini untuk memperkaya diri sendiri tidak perlu dihiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita di Silindung berada di kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah. Jadi apa salahnya kalau mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita diberi tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakekatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan [194] agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen?
Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?
Pada surat kabar yang lain diberitakan bahwa penginjil kita mendukung kependudukan Bahal Batu dan penyerangan terhadap kerajaan Singamangaraja. Mereka mengabsahkan bantuan Belanda terhadap penginjil kita, tetapi mereka tidak setuju bahwa pasukan maju sampai ke Bahal Batu karena hal itu merupakan provokasi sehingga Singamangaraja memang punya alasan untuk membela kerajaannya dengan mengumumkan perang karena Bahal Batu merupakan bagian dari kerajaannya. Namun tuduhan itu tidak beralasan karena Bahal Batu berada di dalam kawasan yang sudah menjadi milik pemerintahan Belanda. Jelas Bahal Batu bukan bagian kerajaan Singamangaraja karena Singamangaraja hanya berkuasa di Bangkara. Di luarnya, di Toba, Silindung, dan Bahal Batu Singamangaraja hanya diakui sebagai raja imam. Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]
Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda sedapat-dapatnya dilindungi. Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya. Tidak ada seorang tahanan pun yang dibunuh, melainkan semua dilepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar tebusannya.
Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu memang sangat penting demi mengukuhkan kekuasaan mereka di Sibolga dan Deli. Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur, Pintu Bai dan Lintong ni Huta sudah dapat ditaklukkan. Suatu hal yang sangat menguntungkan bagi zending kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zending kita secara langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita.
Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu membawa istrinya yang masih muda ke pos zending. Surat yang dikirim pada bulan Maret berbunyi sebagai berikut:
Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan mereka akan mendapatkan uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat kami cemas sekaligus sedih. Banyak yang dulu menghadiri misa kini tidak datang lagi. Para raja yang paling parah karena baju hadiah istri saya ternyata tidak cukup bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin, kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras, susu, dsb. [196] yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung datang untuk mencari pos buat penginjil Püse di Butar. Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil Püse ditempatkan di situ sehingga hal itu langsung dikonfirmasikan. Lalu para penginjil dari Silindung memanggil Portaon Angin bertanya mengapa ia menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos zending ditarik kembali dan hanya seorang guru sekolah ditempatkan di kampungnya. Mendengar ini ia menyesal dan meminta maaf.
Hari berikut kami ke Silindung, dan hanya Püse yang tinggal di Bahal Batu. Pedoman kami untuk hari ini adalah Kejadian 45:5 “Jangan takut atau menyesali dirimu karena kalian telah menjual saya. Sebenarnya Allah sendiri yang membawa saya ke sini mendahului kalian untuk menyelamatkan banyak orang.” Di Silindung kami berada selama sekitar enam minggu, dan keadaan kesehatan saya pulih sepenuhnya. Kami sangat berterima kasih atas kasih sayang saudara kami di sana. Kepergian kami ternyata berdampak baik pada Portaon Angin dan raja lainnya. Mereka sering menulis surat dan minta supaya kami kembali.
Tanggal 19 November tahun yang lalu kami kembali ke Bahal Batu dan disambut hangat oleh saudara Püse. Portaon Angin beserta anak laki-lakinya dan raja-raja lain menyalami kami dan berjanji akan bersikap lebih ramah terhadap kami.
[197] Sampai sekarang raja tua itu menepati janjinya dan setiap hari Minggu ia datang menghadiri misa bersama dengan keluarganya.Hari kedua setelah kedatangan kami dikejutkan dengan kisah di bawah ini: Seorang anak raja yang saya berikan baju minta supaya diberi celana. Karena saya tidak punya celana yang bisa saya berikan padanya maka ia menyuluti atap rumah kami. Kami sedang makan siang ketika kami mendengar jeritan anak kecil dan salah satu di antara anak buah kami memanggil kami. Bersama dengan bantuan orang kampung kami naik ke atap. Püse dan istri saya membawa air cuci pakaian dan anak-anak lain membawa air dari sawah. Dengan bantuan Tuhan Allah kami berhasil memadamkan api walaupun angin bertiup kencang dari timur. Pelaku yang melarikan diri ditangkap dan para raja mau langsung memotong orang itu. Atas permohonan kami dia tidak dibunuh tetapi didenda seekor babi yang mereka makan bersama pada malam hari. Pada kesempatan itu mereka bersumpah akan mendenda barang siapa yang hendak berbuat jahat pada kami. Tanpa bantuan Tuhan rumah kami sekarang tinggal abu saja.
Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. Kami dikabari Tuan Residen adanya 40 ulubalang (laskar) asal Aceh dari Singkel menuju ke sini, dan supaya kami waspada. Beberapa minggu yang lalu raja imam Batak datang ke Lobu Siregar melarang penduduk menampung para zendeling dan menyuruh mereka mengusir kami dari Bahal Batu dan dari Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menjadi Kristen. Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan.
Kala itu Singamangaraja [198] telah diam-diam menjalin perjanjian dengan raja Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa dialah biang keladi kerusuhan.
Desas-desus makin menjadi. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara yang berjarak hanya satu hari jalan kaki dari sini, dan kami disuruh untuk segera berangkat. Maka kami berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zending kami serahkan kepada raja tua. Sedang di perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk sementara kami tetap tinggal di Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar.
Lalu datanglah penginjil Nommensen, Püse, Simoneit, dan Israel. Sebagian besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika diserang. Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin malahan mengatakan musuh terlebih dahulu harus membunuh kalau mau mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh.
Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan. Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat saling mendukung satu sama lain
Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada zending pemerintah menyediakan 50 bedil beserta amunisi serta menjamin adanya bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana yang terjadi tahun 1859 di Kalimantan. Penginjil Nommensen menyuruh orang bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil, namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang memanggil ulubalang itu.
[199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut orang untuk memusuhi kami.Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru para penginjil meninggalkan kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen di Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyelidikinya. Awal Februari datang 80 tentara Belanda dengan seorang Komisaris (Kontrolir) untuk menyelidiki lebih lanjut perkara itu. Selama tentara berada di Silindung suasana menjadi tenang. Lalu datang surat dari Singamangaraja. Katanya kalau tentara pergi dia akan datang mengusir kami bersama dengan raja dari Bahal Batu. Raja- raja lain dari arah pegunungan secara umum memberitahu di pasar-pasar akan menyembilih kami. Lalu Residen mengirim surat kepada Singamangaraja menanyakan apa tujuan dia yang sebenarnya. Dia membalas dia tidak keberatan dengan keberadaan zending, dia hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia bersedia untuk datang dan berbicara dengan kami. Surat balasan Residen dirobeknya dan mau memakan pengantar surat itu, namun ada seorang raja menghalanginya.
Tanggal 15 Februari [1878] pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung. Selama dua hari keadaan tenang. Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami dan bahwa mereka tidak tinggal diam sampai kepala-kepala Tuan Belanda itu ada di tangan mereka. Pada surat bambu itu mereka ikat ubi rambat yang ditusuk sebagai tanda akan menusuk serdadu dan tuan-tuan dan memakannya seperti ubi. [200] Pada pagi hari tanggal 17 Tuan Kontrolir menjelaskan bahwa saya harus segera membawa istri saya ke Silindung karena dia tidak bisa tinggal di sini kalau perang sudah pecah. Raja tua hendak menghalanginya tetapi Kontrolir memerintah seorang perwira berpangkat letnan untuk mengawal kami sampai pertengahan jalan ke
Silindung. Pada jam 10.00 kami berangkat dengan saudara Johannsen dan menjelang malam hari kami tiba, dalam hujan deras, di Pansur na Pitu.
Pada hari Selasa tanggal 19 saya sendirian kembali ke Bahal Batu. Tuan-tuan sudah tinggal di kamp dan mendesak kami agar meninggalkan pos zendingnya. Pada tanggal 20 Tuan Kontrolir menyuruh kami meninggalkan pos zending. Penginjil lain pun mendesak agar saya pergi dari sana sehingga saya kembali ke Silindung. Atas keputusan para penginjil dan atas permintaan saudara Simoneit yang baik hati maka saya menempati pos Simorangkir hingga penginjil Simoneit kembali dari Toba. Dia secara rela memutuskan mendampingi penginjil Püse hingga perang selesai dan saya bisa kembali ke Bahal Batu bersama istri saya.
Sementara itu pertempuran di Bahal Batu telah dimulai. Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang, tetapi setiap kali hanya sebagian dari ulubalang ikut berperang dan selalu serangan mereka dapat ditangkis dengan berjatuhan korban di pihak mereka. Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. Seorang yang tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau dibunuh dan dimakan oleh penduduk Bahal Batu, tetapi mereka dihalangi oleh Simoneit dan Püse dan beberapa orang serdadu. Orang itu dibawa ke pos zending dan kemudian ke huta [kampung] Portaon Angin lalu ia ditebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden. Setelah kami tinggalkan pos zending dijaga oleh orang Bahal Batu.
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat diketahui dan para pelaku diusir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol yang kira-kira sama dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zending. Hal itu dilakukan karena balas dendam untuk kemenakannya yang gugur di Bahal Batu. Berkat pertolongan Allah pos zending hingga kini selamat, dan di Bahal Batu belum ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada.
Pada 14 Maret Bapak Residen datang sendiri dari Sibolga bersama 250 tentara dan Kolonel Engels yang telah membuktikan keberaniannya di Aceh. Tanggal 15 Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda, dan pada tanggal 16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan Residen berusaha untuk, bersama dengan para penginjil, meyakinkan musuh untuk menyerah, akan tetapi usaha tersebut ditolak. Setelah itu Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda dan para raja harus melakukan sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai penerjemah. Orang Butar pun disuruh menyerah bila mau selamat. Setelah penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan membakarnya. Penduduknya tidak ditangkap tetapi ada beberapa orang yang mati dan cedera di antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal di Bahal Batu. Kampung- kampung lain di Butar lalu menyerah; 11 raja ditangkap dan dibawa ke Bahal
Batu, dan masing-masing diwajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200–300 dolar Spanyol atau 600–900 Gulden. Kini mereka sudah dilepaskan. Atas permintaan para penginjil maka Butar diperlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung yang dibakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para penginjil yang ditahan di Butar kini menjadi pemimpin musuh.
Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak dibakar, hal mana semoga akan membuat dia merenungkan peristiwa yang berlalu.
Semua perundingan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ diserang. Lima kampung dibakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja dan tidak menuruti pemimpinnya yang hanya mencelakakan mereka. Bagaimana pun mereka akan kalah.
Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya, zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.
Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya, zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.