Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak.
Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang disebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Tokoh penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun. Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.
Namun Nommensen sesungguhnya hanya salah satu dari banyak penginjil RMG yang ditugaskan untuk menyebarkan injil di Tanah Batak. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan sangat diutamakan dalam kalangan RMG. Sebagai pelaksana, para penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan. Laporan-laporan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dinamakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG. Secara total ada sekitar 10.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.
Makalah ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil selama masa Perang Toba, dan tidak bermaksud untuk mencari kontroversi melainkan untuk memberi sumbangan terhadap sejarah Batak di awal zaman penjajahan. Tokoh I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya berbicara sendiri dan dipandang dalam konteks sejarah sebagai anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hal tersebut, menurut hemat saya, perlu agar tidak terjadi pembentukan mitos dan legenda yang berkaitan dengan tokoh sejarah ini. Sesuai dengan perkembangan zaman penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari bahwa makalah saya yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap “kontroversial”. Sesungguhnya makalah ini hanya menjadi “kontroversial” karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan yang berdiri di belakangnya.
Medan, 23 Juni 2009,
Dr. Uli Kozok