“Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme, dan, sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Ph. Potter, Dewan Gereja Se-Dunia
Latar Belakang Sejarah
Dalam semua buku pelajaran sejarah ataupun Pendidikan Moral Pancasila selalu dituliskan bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Ucapan Sukarno yang sudah menjadi mitos itu sebetulnya tidak benar, dan jelas tidak berlaku untuk Pulau Sumatra.
Di antara kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Sumatra, Aceh merupakan salah satu yang terbesar dan baik Portugis maupun Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC tidak berani menyerang kesultanan Aceh ataupun kerajaan-kerajaan yang lain di Sumatra. Daripada menjajah, baik Belanda maupun Inggris memilih membuka pangkalan dagang seperti pangkalan dagang Belanda di Padang (sejak 1663) dan pangkalan dagang Inggris di Bengkulu (sejak 1700).
Belanda tidak berani, dan juga tidak berniat masuk ke pedalaman Pulau Sumatra sehingga sejarah penjajahan di Sumatra baru dimulai ketika Belanda mengambil alih Bengkulu pada tahun 1824/1825. Sumatra Selatan diduduki pada tahun 1827 dan Jambi pada tahun 1833.
Periode sesudahnya (hingga 1870) ditandai oleh onthoudingspolitiek atau kebijakan pemerintah Belanda untuk tidak memperluas wilayah kolonialnya. Pemerintah Belanda khawatir bahwa keuntungan yang mereka peroleh dari daerah jajahan dapat berkurang apabila wilayah jajahan diperluas, dan mereka juga merasa tidak sanggup memerintah seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali lipat negara induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda di Nusantara dibatasi pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah di Sumatra. Jean Chrétien Baud yang menjadi menteri untuk urusan penjajahan (Minister van Koloniën) dari 1840-1848 menyuruh agar pangkalan di Sumatra Selatan ditinggalkan, dan pada tahun 1861 menteri penjajahan James Loudon malahan mengatakan bahwa tiap upaya perluasan wilayah berarti “suatu langkah lagi menuju kehancuran kita”.
Di pihak lain, Baud memilih untuk menjalin perjanjian dengan para raja di luar Jawa agar mereka secara formal mengakui kedaulatan pemerintah kolonial. Walaupun Baud melarang adanya perluasan wilayah, yang terjadi justru sebaliknya. Oleh berbagai sebab, entah karena adanya sengketa di kawasan yang masih merdeka yang dapat mengganggu keamanan di daerah jajahan atau untuk mencegah masuknya kekuasaan asing lainnya, pemerintah kolonial sering memilih untuk ikut campur. Salah satu contoh adalah Sumatra Barat.
Pada awal abad ke-19 timbul konflik di Kerajaan Pagaruyung antara para ulama (yang umumnya disebut Kaum Padri, atau, menurut pakaian yang dikenakannya, Kaum Putih) yang ingin menerapkan syariat Islam sesuai dengan Mahzab Wahabi di satu sisi, dan pihak kerajaan Pagaruyung (Kaum Adat) di sisi yang lain. Selain adanya unsur agama, ada pula unsur ekonomi. Kaum Padri cenderung berasal dari Agam dan Limapuluh Kota dan mereka terlibat dalam perdagangan terutama dengan Inggris dan Amerika dengan mengekspor kopi, gambir, garam, dan kain.
Di sisi yang lain Kaum Adat cenderung berasal dari Tanah Datar dan ekonominya berdasarkan persawahan dan pertambangan emas yang hasilnya pada saat itu sudah mulai menipis (Ricklefs 2008:182). Diilhami oleh perebutan kota Mekah oleh kaum Wahabi pada tahun 1803, kaum Padri pun menghalalkan kekerasan demi mencapai tujuannya yaitu menghancurkan kerajaan Minangkabau yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam dengan mengizinkan hal-hal yang bertentangan dengan agama seperti berjudi, menyabung ayam, merokok, makan sirih serta meminum minuman keras. Selain itu mereka juga ingin menghancurkan struktur warisan matrilinear yang berlaku di Minangkabau. Pada tahun 1815 Kaum Padri sudah di ambang kemenangan setelah menyerang Pagaruyung dan membunuh dua dari tiga raja Minangkabau sementara raja yang ketiga dan sebagian besar keluarga kerajaan mengungsi ke Padang.
Setelah Belanda kembali ke Padang pada tahun 1819 (1806-1816 Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Inggris) maka keluarga kerajaan dan para pengulu yang anti-Padri meminta bantuan Belanda, dan menyerahkan kedaulatan atas tanah Minangkabau kepada pihak Belanda.
Pada tahun 1822 Belanda berhasil merebut Pagaruyung dan Kaum Padri terpaksa mundur ke daerah Lintau. Karena Belanda tidak berhasil mengusir Kaum Padri dari Lintau maka ditempuh jalan diplomasi, dan Perang Padri yang pertama berakhir dengan perjanjian perdamaian di Masang (1824).
Perdamaian tidak berlangsung lama dan pada akhir 1824 bermula Perang Padri Kedua namun Belanda tidak dapat berbuat banyak sebelum 1830 karena pada saat itu mereka sibuk menghadapi Perang Jawa. Pada tahun 1832 Lintau dapat direbut dan Kaum Padri diusir dari Agam, namun Perang Padri baru berakhir pada tahun 1837 ketika Bonjol direbut tentara Belanda yang dipimpin oleh Andreas Victor Michiels. Michiels yang kemudian menjadi Gubernur Pantai Barat (Westkust van Sumatra) mendukung para penguasa tradisional di Minangkabau dan dengan bantuannya ia mendamaikan dataran tinggi Minangkabau yang kemudian menjadi provinsi Padangse Bovenlanden. Di bawah Michiels wilayah pemerintah kolonial juga diperluas ke Barus, Tapus dan Singkil.
Perang Padri meninggalkan trauma pada orang Batak yang belakangan ini sempat menimbulkan polemik di media masa, terutama sesudah diterbitkannya kembali buku Tuanku Rao karya O.M. Parlindungan. Aritonang tentu benar dalam kesimpulan bahwa “para penulis dari kalangan Islam tampaknya enggan mencatat ataupun mengomentari kekejaman dan kengerian yang terjadi ketika penyerbuan pasukan Paderi ke Tanah Batak” (Aritonang 2005:109). Di lain pihak, para penulis dari kalangan Kristen juga cenderung untuk melebih-lebihkan teror Kaum Paderi, misalnya dengan menyebut jumlah korban mencapai “jutaan orang” (pada ketika itu seluruh jumlah orang Batak masih di bawah satu juta).
Aritonang mungkin juga benar dalam kesimpulannya bahwa Kaum Padri malahan meletakkan dasar bagi Kristenisasi orang Batak karena terbunuhnya Singamangaraja X menggoyahkan kepercayaan orang Batak terhadap agama tradisionalnya dan terhadap lembaga Singamangaraja. Selain itu, kedamaian yang tercapai setelah Angkola dan Mandailing menjadi bagian Hindia-Belanda juga menjadi landasan bagi berkembangnya agama Kristen dan juga agama Islam di Angkola dan di Mandailing.
Kebijakan onthoudingspolitiek (politik tidak campur tangan) itu baru mulai ditinggal pada tahun 1870an. Periode yang dimulai sekitar tahun 1870 hingga pecahnya Perang Dunia Pertama (1914) juga dikenal dengan dengan zaman imperialisme. Dalam waktu sekitar 40 tahun wilayah Hindia Belanda diperluas hingga mencapai wilayah yang sekarang. Proses persatuan Hindia-belanda diselesaikan di bahwa pemerintahan Gubernur Jenderal J.B. van Heutz (1904-1909) yang menggalakkan Pax Neerlandica (Perdamaian Belanda) yang mempersatukan seluruh Nusantara di bawah satu administrasi (Binnenlandsche Bestuur, BB) dengan bantuan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsche Indisch Leger (KNIL).
Suatu peristiwa yang sangat penting untuk sejarah Sumatra bagian utara adalah pembukaan terusan Suez pada tahun 1869. Sebelum terusan Suez dibuka kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez, laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang dikuasai Inggris, lebih pendek melalui Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut di perairan Aceh membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan Aceh dan menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda keleluasaan untuk berdagang di seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara Belanda berjanji untuk menjamin keamanan di Selat Melaka. Akibat Perjanjian Sumatra, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) di Singapura yang pada gilirannya dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Aceh.
Kehadiran para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867. Singamangaraja beranggapan bahwa zending adalah wahana dan alat pemerintah untuk menguasai daerah Batak. Bahwa kekhawatiran Singamangaraja bukan tidak beralasan menjadi jelas ketika Batakmission mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan hukum dan keadilan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang membawa kesenangan bagi Silindung”.
Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman.
Pecahnya Perang Aceh di tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda yang mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang ternyata dipukul balik oleh pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler tewas. Pada ekspedisi berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki Banda Aceh sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi gerilya.
Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang Aceh ternyata juga menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 dilaporkan bahwa ada sejumlah orang Aceh di Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja sudah memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh dan untuk mengusir para misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda.
Pada bulan Januari 1878 para misionaris diperintahkan untuk segera meninggalkan wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris meminta bantuan tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu tentara Belanda:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Ekspedisi itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula – dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspedisi itu begitu luar biasa berhasil karena Silindung menjadi pangkalan yang sangat aman [bagi tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan dinasihati oleh para misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya. Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu untuk meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka yang sia-sia dan untuk mendesak mereka agar menyerahkan diri. (JB 1878:31)[/icon_text]