Sebagai anak zaman, para misionaris dipengaruhi oleh arus-arus ideologi yang sedang berlaku di Eropa, termasuk di antaranya rasisme, dan nasionalisme yang sering terwujud sebagai chauvinisme yang menekankan keunggulan bangsa Jerman. Sikap rasisme sangat kelihatan pada beberapa penginjil RMG seperti misalnya Hugo Hahn sementara ada misionaris lain yang lebih cenderung untuk membela kepentingan pribumi. Walaupun banyak misionaris bersikap kritis, boleh dikatakan hampir tidak ada seorang pun yang secara prinsip menolak penjajahan.
Para penginjil, kendati pada umumnya berasal dari latar belakang sosial yang sederhana, berkeyakinan menjadi “wakil peradaban yang begitu jauh lebih unggul daripada budaya kafir” (AMZ 6, 1879:352)[1]. Masyarakat di wilayah penginjilan dianggap tidak memiliki peradaban sehingga diperlukan adanya transfer budaya dan peradaban Eropa. Untuk transfer budaya satu arah itu Warneck menggunakan istilah Culturkampf (perang budaya)[2] yang dilaksanakan “di semua tempat pertemuan Cultur Kristen Eropa dengan kebarbaran dan Uncultur bangsa-bangsa di luar Eropa.”[3]
Oleh karena masyarakat “primitif” tidak memiliki Cultur (budaya) melainkan Uncultur (non-budaya/kebiadaban) maka sebagian besar unsur budaya yang sudah ada harus dihilangkan. Sikap angkuh yang serta-merta menolak kebudayaan setempat mempunyai tradisi lama dalam sejarah penginjilan.
Namun dalam praktek para penginjil, paling tidak di daerah Batak, melihat adanya unsur budaya Batak yang perlu dilestarikan, termasuk aksara dan bahasa Batak, sastra lisan, dan arsitektur yang dibutuhkan demi melestarikan Volkscharakter (watak bangsa). Terutama bahasa Batak harus dilestarikan karena keterkaitan antara bangsa dan bahasa yang begitu penting dalam nasionalisme Jerman. Dalam hal ini para penginjil Jerman berbeda dengan zendeling asal Inggris yang kurang mementingkan pelestarian bahasa pribumi.
Namun sebagian besar budaya Batak dianggap tidak penting atau malahan bertentangan dengan agama Kristen sehingga perlu dimusnahkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya untuk bermain musik (margondang), menari (manortor), dan malahan sistem kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkannya dengan mengizinkan perkawinan antara orang sesama marga (BRMG 1880:21). Setelah mendapatkan perlawanan dari orang Batak maka para penginjil bersedia untuk berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap dilarang dan diganti dengan musik tiup asal Jerman. Bukan saja di Batakmission tetapi juga di Afrika seni tari selain tari Eropa dianggap oleh RMG sebagai hiburan berdosa (Paczensky, 1991:134).
Perasaan unggul yang dimiliki oleh hampir semua orang Eropa terhadap bangsa “primitif” membuatnya cenderung untuk melihat masyarakat setempat dengan serba negatif.
Dalam buku hariannya tahun 1853 Carl Hugo Hahn, misionaris pertama RMG di Namibia, menyimpulkan watak suku Nama sebagai berikut: “Watak mereka sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala, tidak teguh pendirian, tamak, birahi, suka membunuh, dan pemabuk. Selain itu mereka teramat membenci bangsa kulit putih.”[4] Prasangka yang serba negatif juga dikemukakan oleh Junghuhn. Menurutnya orang Batak memiliki sifat pemabuk, takhyuli, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, keras kepala dan malas, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sifat positif pada orang Batak seperti berani, jujur, berterus-terang, baik hati dan mandiri (Junghuhn 1847a:240). Penilaian positif tersebut tentu juga berkaitan dengan keunggulan ras yang, menurut Junghuhn, dimiliki oleh orang Batak terhadap suku-suku lain di Hindia-Belanda.
Menurut para penginjil sikap negatif yang dimiliki oleh orang Batak adalah keangkuhan (Hochmut), kemalasan (Faulheit), dan rendahnya moral (Sittenlosigkeit). Keangkuhan malahan pernah disebut sebagai “kanker di tubuh bangsa Batak” (BRMG 1899:188). Namun lebih parah, menurut penilaian penginjil, adalah rendahnya moral. Orang Batak selalu dicap asusila oleh para misionaris, antara lain karena hubungan antara muda-mudi (menurut selera mereka) terlalu bebas, dan juga karena kebiasaan perempuan yang sudah kawin untuk tidak menutup buah dadanya (lihat foto).
Junghuhn menekankan bahwa “orang Batak malas seperti semua orang yang tinggal di daerah khatulistiwa.” (idem 237). Menurut bekas direktur RMG Gustav Warneck “kemalasan merupakan masalah terutama pada bangsa-bangsa primitif” dan bahwa “dalam hal ini suku bangsa liar seperti kanak-kanak. Mereka harus dipaksa untuk bekerja. Kalau mereka dibiarkan sendiri maka mereka akan tetap malas” (AMZ 6, 1879:430).
Sesuai dengan semboyan ora et labora, ora (berdoa) dilihat sebagai budaya, dan labora (bekerja) sebagai inti peradaban dan budaya sekaligus (Schubert 2003:126).
Oleh sebab itu maka zending memiliki tugas untuk mendidik masyarakat pribumi agar bisa bekerja dengan tekun dan rajin. Bagi masyarakat “kafir” di Afrika pekerjaan utama yang diperuntukkan bagi bangsa pribumi adalah sebagai kuli perkebunan. Terutama Warneck berulang kali menekankan dalam majalah AMZ (Allgemeine Missionszeitung) betapa penting zending dalam pembentukan watak yang sesuai dengan kepentingan penjajah (Schubert 2003:125–131).
Namun keadaan di Batakmission berbeda dengan Afrika. Afrika Barat Daya dijajah oleh Jerman sementara Tanah Batak menjadi bagian Hindia-Belanda. Jerman memang ada kepentingan ekonomi di Sumatra Timur karena ada sejumlah perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan Jerman, namun Deli, yang dijuluki Het Dollarland (Tanah Dolar), dengan kekayaan yang melimpah, cukup jauh dari Tapanuli. Dari segi ekonomi Tanah Batak kurang menarik bagi pemerintah Hindia-Belanda – apalagi bagi pemerintah Jerman. Daerah Batak tidak memiliki kekayaan alam yang layak untuk dieksploitasi, dan juga tidak sesuai untuk membuka perkebunan.[5] “Kemalasan” orang Batak yang dikeluhkan para penginjil (BRMG 1863:16) memang termasuk di antara sifat-sifat buruk yang perlu diberantas, tetapi terutama karena tuntutan etos Protestan dan bukan karena kebutuhan ekonomi. Selain sifat negatif seperti pendendam, keras kepala, dan susah dapat diatur, para misionaris juga melihat adanya sifat positif – terutama sesudah mereka tinggal bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat Batak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah kedatangan Batakmission ada kemajuan pesat di Tanah Batak. Namun faktor utama kemajuan bukan Batakmission sendiri melainkan keadaan politik yang relatif stabil di bawah pemerintahan kolonial, dan kemajuan ekonomi sebagai akibat keadaan politik dan karena peningkatan prasarana selama masa penjajahan.
Beda dengan orang Minangkabau atau orang Jawa yang teramat menderita di bawah sistem tanam paksa, zaman penjajahan bagi kebanyakan orang Batak membawa dampak yang positif, terutama dari segi ekonomi dan pendidikan.
Harga-harga turun drastis, terutama setelah dibuka jalan raya yang menghubungkan Tapanuli dengan Deli, Sibolga dan Padang. Sarana lalu lintas yang baru sangat memudahkan perdagangan sehingga barang-barang yang belum pernah dikenal tiba-tiba tersedia. Lapangan kerja menjadi semakin luas dengan berbagai macam pekerjaan yang sebelumnya tidak dikenal. Sistem pendidikan modern menjadi sarana stratifikasi sosial yang membuka peluang terutama pada golongan rendah seperti hatoban (budak), dan kesehatan modern mendorong kesejahteraan masyarakat. Terutama sistem pendidikan sangat menguntungkan orang Batak. Sebagian besar sekolah diselenggarakan oleh zending dengan subsidi pemerintah. Sekolah yang didirikan termasuk seminaris untuk pendidikan teologi, tetapi juga sekolah berbahasa Belanda untuk anak-anak raja, serta sekolah pertukangan (ambachtsschool) di Laguboti.
Namun tetap ada duri di dalam daging: orang Batak dikuasai oleh bangsa asing, dan tidak diberi kesempatan untuk mengatur kehidupan sendiri; tidak di pemerintahan dan juga tidak di gereja. Batakmission dikuasai oleh para misionaris Jerman dan mereka tidak bersedia untuk melepaskan kekuasaan mereka itu.
Dalam buku Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jan S. Aritonang menulis: “Lambat laun sebagian masyarakat Batak Kristen semakin jelas melihat bahwa para zendeling Batakmission itu sangat menonjolkan superioritas dan paternalisme mereka sebagai orang Kristen Barat, dan mereka mulai tidak betah terhadap sikap yang demikian.” (Aritonang, 1988:440).
Para penginjil dengan tegas mengatakan bahwa orang Batak belum sanggup untuk berdiri di kaki sendiri yang dikaitkan dengan ras mereka:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Di mana-mana kelihatan bahwa kemandirian [gereja Batak] masih jauh. Tadi kami sudah sebut bahwa empat puluh tahun tidak cukup. Selain itu masih ada faktor penting: watak bangsa. Sebagaimana juga dengan bangsa-bangsa Melayu lainnya, orang Batak pun berdiri jauh di bawah bangsa Eropa dalam hal kemauan, kemandirian, ketegasan, dan upaya. (BRMG 1899:142)[/icon_text]Gerakan kemandirian dan nasionalisme di bahwa semboyan Hamajuon (kemajuan) dikecam keras oleh para penginjil yang dengan tegas menolak setiap upaya orang Batak mendirikan lembaga kemasyarakatan di luar zending. Lembaga seperti HKB (Hatopan Kristen Batak) dikecam keras apalagi setelah HKB menjadi semakin nasionalis dan malahan bekerja sama dengan organisasi politik nasional seperti Sarekat Islam:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Sejak 1918 para zendeling berusaha membendung perkembangan HKB, antara lain dengan mengimbau masyarakat Batak Kristen agar menjadi anggota Christelijke Etische (sic!) Partij […] atau dengan mengajukan HKB kepada pemerintah sebagai organisasi yang mengancam eksistensi Zending dan pemerintah di Tanah Batak. (Aritonang, 1988:296)[6][/icon_text]Mereka yang tidak betah dengan paternalisme para zendeling mendirikan gereja-gereja tandingan seperti Huria Christen Batak, Gereja Mission Batak, dan Punguan Kristen Batak, tetapi “tidak semua aktivis gerakan kemandirian itu memisahkan diri dari “gereja resmi” […] walaupun sebagian dari mereka merasa diperlakukan kurang wajar atau merasa kurang dihargai oleh para zendeling” (Aritonang, 1988:300)
Kritik yang dilontarkan HKB antara lain bahwa Batakmission kurang berhasil di bidang pendidikan. Ketersediaan lembaga pendidikan yang memadai memang sudah lama menjadi sengketa antara para zendeling dan masyarakat Batak. Karena takut atas pengaruh Islam maka lama sekali Batakmission menolak membuka sekolah yang mengajarkan bahasa Melayu. Karena para penginjil tetap ingin mempertahankan bahasa Batak sebagai media instruksi, mereka juga enggan untuk membuka sekolah berbahasa Belanda. Padahal lulusan sekolah yang berbahasa Melayu dan Belanda lebih mudah mendapatkan pekerjaan terutama di pemerintahan. Baru pada tahun 1908 dan atas desakan masyarakat Batakmission bersedia untuk membuka sekolah berbahasa Belanda, dan baru tahun 1914 Batakmission membuka sekolah berbahasa Melayu yang pertama. Bahkan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai mata pelajaran di semua sekolah dasar pun Batakmission tidak bersedia.
Para penginjil memang menginginkan agar orang Batak tetap hidup terisolir dengan sedikit mungkin hubungan ke luar dengan alasan supaya kebatakan (habatahon) mereka tetap lestari dan tidak dipengaruhi agama Islam. Selain itu para penginjil juga khawatir orang Batak bersentuhan dengan arus modernisasi seperti gerakan nasionalisme. Namun di belakang perbedaan kepentingan sesungguhnya terdapat konflik yang lebih mendasar: Batakmission bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat nasrani yang ideal sementara orang Batak lebih condong berpegangan pada filsafat mereka yang tradisional. Tujuan hidup menurut falsafat Batak ialah mencapai cita-cita tertinggi yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon (kemuliaan). Ketiga cita-cita tersebut pernah disebut oleh penginjil Nommensen sebagai ketiga dosa H. Terutama di waktu sesudah perang dunia pertama ketiga ‘dosa’ H itu malahan ditambah lagi dengan ‘dosa’ keempat, yaitu hamajuon – gerakan kemandirian untuk menentukan sendiri nasib gereja, untuk berasosiasi secara bebas dengan suku bangsa lain dalam rangka menentukan nasib bangsa. RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah menakdirkan orang putih sebagai pemimpin.
Daniël Meulen, yang pada sekitar tahun 1918 menjadi pegawai pemerintah di Pangururan, menulis tentang sikap para misionaris:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Ketika Dr. Warneck datang ke Sumatra untuk mengambil alih kepemimpian Batakmission sesudah perang dunia, dia pun minta nasihat Haibach. [7] Bersama-sama kami membicarakan masalah utama di kalangan Batak Kristen, yaitu sikap kritis, dan bahkan negatif di kalangan generasi muda terhadap penginjil Jerman […] yang masih tetap berpegangan pada sikap nasionalis yang menekankan keunggulan orang putih. […] Saya mengatakan [kepada Warneck] bahwa para penginjil itu salah sendiri. Seharusnya mereka sudah lama meninggalkan sikap kolonialis Barat. […] Seharusnya mereka menjadi perintis, dan tidak selalu menuruti pemerintah. (Meulen 1981:65)[/icon_text]Ketika di Jambi terjadi kerusuhan anti-Belanda, Meulen mengakui bahwa kebanyakan orang Belanda di Sumatra Utara yakin bahwa kerusuhan seperti itu tidak mungkin terjadi di Tanah Batak. Waktu kerusuhan Parhudamdam [8] pecah di Tanah Batak mereka tercengang.
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Hanya segelintir orang di antara orang Belanda yang sangat akrab dengan penduduk setempat, termasuk beberapa orang wartawan yang tanggap, juga beberapa misionaris [yang bisa membaca tanda-tanda zaman], kecuali penginjil Jerman. Mereka buta karena nasionalisme dan keyakinan atas keunggulan ras putih. Masyarakat Indonesia, yang menurut mereka ketinggalan zaman, telah diuntungkan oleh kehadiran bangsa Eropa. Demikianlah kesan yang saya peroleh ketika saya berbicara dengan dengan para penginjil RMG, dan terutama juga dengan istri-istrinya. (Meulen 1981:44)[/icon_text]Dengan sikap yang demikian Batakmission akhirnya malahan dinilai masyarakat sebagai penghambat kemajuan sehingga bermunculan berbagai upaya untuk mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pendidikan alternatif, dan sekaligus untuk mendorong Batakmission agar bersikap lebih terbuka pada permintaan dan kebutuhan masyarakat, dan tidak lagi memperlakukan mereka seperti anak-anak.
Catatan
[1] Majalah Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) didirikan oleh Gustav Warneck, guru seminaris RMG 1871-1874.
[2] Dengan sengaja Warneck memilih istilah agresif Culturkampf (lebih umum dieja Kulturkampf) yang merujuk pada perseteruan antara pemerintah Jerman dengan gereja Katolik. Pemerintah berkeinginan untuk memisahkan agama dan pemerintah misalnya dengan mengizinkan perkawinan melalui catatan sipil hal mana yang ditentang oleh pihak Katolik. Lalu pemerintah di bawah kanselir Bismarck bertindak dengan membatasi ruang gerak gereja Katolik; lebih dari 1800 pastor dipenjarakan dan ordo Yesuit dilarang.
[3] “Überall wo unsere christliche, europäische Cultur und Civilisation mit der Uncultur und Barbarei der nicht europäischen Völker in Berührung getreten” (dikutip dari Schubert 2003:126).
[4] “Die hervorstechenden Züge ihres Charakters sind: unbegrenzter Hochmut, Treulosigkeit, Hinterlist, Misstrauen, Verschlagenheit und Unversöhnlichkeit und Hartnäckigkeit und doch auch Wankelmut, Mord- und Habsucht … und Wollust und Trunkenheit. Dazu gesellt sich ein unauslöschlicher bitterer Hass gegen alle Weißen […].” Buku Harian penginjil Carl Hugo Hahn, 1853. Dikutip dari http://de.wikipedia.org/wiki/Nama_(Volk).
[5] Namun demikian ada memang bagian pinggiran Tanah Batak yang di kemudian hari dijadikan daerah perkebunan hal mana sering ditentang oleh penduduk setempat.
[6] Christelijke Ethische Partij adalah partai politik yang dibentuk dan didominasi oleh orang Kristen Belanda.
[7] Carl Haibach, bekas misionaris RMG yang menjelang akhir perang dunia pertama menjadi pegawai pemerintahan Belanda.
[8] Gerakan Parhudamdam dipelopori oleh para penganut Singamangaraja yang percaya bahwa Singamangaraja akan bangkit kembali untuk menyelamatkan para pengikut Parhudamdam dan mengusir pemerintah Belanda.