Gerakan misi diprakarsai oleh serikat penginjilan Inggris pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1792 Baptist Mission Society didirikan disusul oleh London Mission Society (1795) dan Mission Society for Africa and the Orient (1797). Pada tahun yang sama berdiri Nederlandsche Zendelinggenootschap, dan ketika itu di Jerman pun bermunculan berbagai serikat penginjilan. Gerakan misi merupakan akibat langsung dari zaman penjajahan. Ekspansi Eropa ke daerah-daerah yang hingga waktu itu belum dikenal membuka lahan penginjilan baru. Agama asli yang telah diianut oleh bangsa-bangsa itu disebut kafir. Hal itu terjadi juga di tanah Batak. Agama Batak, yang sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan agama Hindu-Bali, dicap sebagai kepercayaan kafir yang perlu diberantas.
Serikat Penginjilan Kawasan Sungai Rhein atau Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) didirikan pada tahun 1828 ketika tiga serikat penginjilan bergabung.[1] Basis RMG terutama di Rheinland dan di Westfalen (kedua daerah kini mencakup negara bagian Nordrhein-Westfalen dan negara bagian Rheinland Pfalz). Di situ bermunculan kelompok-kelompok pendukung yang menyumbangkan dana yang menjadi tulang punggung operasional RMG. Medan zending RMG terutama di Afrika (mulai tahun 1829), Cina (mulai 1846) Kalimantan (1836-1859), dan Sumatra (mulai 1861).
Pimpinan RMG terdiri dari seorang presiden (Präses) yang biasanya merupakan orang kaya yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan besar yang turut menyumbangkan dana operasional RMG, dan seorang direktur (Inspektor) yang memiliki latar belakang teologi dan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan misi. Para misionaris berada langsung di bawah direktur, dan mereka diharapkan untuk senantiasa patuh pada direktur dan melaksanakan perintahnya.
Johann Christian Wallmann (1811-1865) menjadi direktur RMG dari 1848 hingga 1857. Menurut Schreiner (1972:35) Wallmann meletakkan dasar untuk teologi RMG yang merupakan “teologi penebusan yang berasal dari gerakan kebangkitan” yang menekankan kebutuhan orang akan penebusan, pertobatan dan keselamatan (Aritonang, 1988:101). Berbeda dengan penggantinya, Rohden dan Fabri, Wallmann “tidak terlalu mengagungkan peradaban Eropa” dan mengimbau kepada muridnya agar menyebarkan injil tanpa memaksakan nilai-nilai Eropa (ibid.). Namun untuk periode yang disoroti dalam buku ini Wallmann tidak seberapa berpengaruh karena sudah meninggal pada tahun 1865.
Selama empat tahun belajar di seminaris para misionaris terutama dipengaruhi oleh heilsgeschichtliche Theologie (Teologi Sejarah Keselamatan) yang juga dikenal sebagai Teologi Kerajaan Allah (Reich-Gottes-Theologie) sebagaimana diajarkan oleh Friedrich Fabri dan Ludwig von Rohden. Baik teologi von Rohden maupun Fabri kuat dipengaruhi oleh paham nasionalisme yang menekankan keunggulan bangsa Germania serta paham rasisme yang menegaskan keunggulan ras putih.
Ludwig von Rohden (1815-1889) mengajar sejarah, geografi, antropologi, dan teologi. Bagi Rohden sejarah dunia adalah sejarah kerajaan Allah dan satu-satunya sumber yang menurutnya dapat diandalkan dan yang tidak boleh dipertanyakan adalah alkitab injil. Rohden menjadi pengarang buku sejarah yang dipakai di seminaris RMG dan menjadi pegangan utama bagi para misionaris. Buku teks yang berjudul Leitfaden der Weltgeschichte (Pedoman Sejarah Dunia) bertolak belakang tidak hanya dengan ilmu sejarah modern tetapi juga dengan teologi Kristen mana pun yang ada dewasa ini. Bagi pembaca masa kini Leitfaden der Weltgeschichte adalah buku yang sering tidak masuk akal karena mengandung pernyataan yang acap bertolak belakang, dan penuh dengan asumsi yang dipengaruhi oleh kedua paham ideologi yang sangat laku di Jerman pada abad ke-19 yaitu nasionalisme dan rasisme yang dipadukan oleh Rohden dengan peristiwa “sejarah” yang diambilnya dari alkitab injil.
Bagi Rohden seluruh manusia adalah keturunan nabi Nuh karena hanya nabi Nuh beserta keluarganya selamat pada air bah yang menurut Rohden melanda dunia 5.000 tahun yang lalu.[2] Rohden berpedoman pada kisah dalam Kitab Kejadian ketika nabi Nuh mengutuk Kanaan.
9:18 Anak-anak Nuh yang keluar dari kapal itu ialah Sem, Yafet dan Ham. (Ham adalah ayah Kanaan.)
9:19 Ketiga anak Nuh itu adalah nenek moyang semua orang di dunia.
9:20 Nuh seorang petani, dan dialah yang pertama-tama membuat kebun anggur.
9:21 Setelah Nuh minum anggurnya, ia menjadi mabuk. Dilepaskannya segala pakaiannya lalu tidurlah ia telanjang di dalam kemahnya.
9:22 Ketika Ham, yaitu ayah Kanaan, melihat bahwa ayahnya telanjang, ia keluar dan memberitahukan hal itu kepada kedua saudaranya.
9:23 Kemudian Sem dan Yafet mengambil sehelai jubah dan membentangkannya pada bahu mereka. Mereka berjalan mundur memasuki kemah itu dan menyelimuti ayah mereka dengan jubah itu. Mereka memalingkan muka supaya tidak melihat ayah mereka yang telanjang itu.
9:24 Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mengetahui apa yang diperbuat anak bungsunya terhadap dirinya,
9:25 ia berkata, “Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya.
9:26 Pujilah TUHAN, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem.
9:27 Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet.”
9:28 Sesudah banjir itu, Nuh masih hidup 350 tahun lagi.
9:29 Ia meninggal pada usia 950 tahun.
Bagian dari Kitab Kejadian ini menimbulkan berbagi kesulitan: 1. Tidak jelas mengapa justeru Kanaan (anak Ham yang tidak melakukan apa-apa) dikutuk, 2. Tidak semua nama tempat yang disebut diketahui keberadaannya. 3. Tidak jelas apa yang terjadi dengan bagian dunia yang tidak disebut dalam alkitab seperti bagian selatan Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika. Masalahnya pada waktu Kitab Perjanjian ditulis kawasan-kawasan tersebut memang belum diketahui keberadaannya.
Rohden tidak menyinggung masalah yang disebut di bawah butir 1 dan 2, tetapi persoalan yang ketiga ia pecahkan dengan menggunakan interpretasinya sendiri:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Keturunan Yafet tersebar di seluruh belahan utara bumi terkecuali Amerika, dan keturunan Ham di belahan selatan. Di antara kedua wilayah, tempatnya kedua keturunan mulai bercampur baur, menetap keturunan Sem.” (Rohden, 1867:12)[/icon_text]Walaupun alkitab injil sama sekali tidak menyebut kawasan Asia Tenggara, Rohden membuat interpretasi sendiri bahwa bangsa-bangsa Asia Tenggara adalah keturunan Ham dan dengan demikian mereka ditakdirkan menjadi budak:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Di dalam kitab suci disebut sebagai kenyataan yang tidak dapat diragukan bahwa Mesir atau Misraim merupakan keturunan Ham: Misraim menjadi putra Ham dan saudara Kush (Tanah Negro, Etiopia) dan Put (Libia). Ketiga bangsa yang masih bersaudara itu menduduki seluruh bagian selatan Asia dan Afrika. Mereka menempati kawasan di sekitar Samudera India, Laut Persia, bagian selatan semenanjung Arabia hingga ke negara-negara di belakang sungai Nil arah ke gurun Afrika dan Samudera Atlantik. Termasuk juga pulau-pulau di Samudera Pasifik serta semenanjung-semenanjung di Asia Tenggara dari dahulu dan sebagaian besar masih hingga kini didiami oleh keturunan yang sama.[3] (Rohden, 1867:25)[/icon_text]Rohden mengaitkan interpretasinya dengan paham rasisme yang mengidentifikasikan lima ras menurut warna kulit: putih, kuning, merah, cokelat, dan hitam. Menurut Rohden warna kulit keturunan nabi Nuh ditentukan oleh derajat dosa yang dipikulnya: Semakin berdosa sebuah bangsa, semakin berubah bentuk dan warna kulitnya. Semakin hitam warna kulit sebuah bangsa semakin berdosa bangsa itu:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri semakin merosot moral dan kecerdasan seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh, dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan kulit yang paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.[4][/icon_text]Menurut Rohden bangsa yang berkulit hitam malahan bisa saja menjadi putih kembali melalui pengaruh agama Protestan!
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata, dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, dan bahkan warna kulitnya, secara turun-temurun, bisa menjadi lebih putih.[5][/icon_text]Karena Rohden percaya pada keunggulan bangsa Germania maka ia menyimpulkan bahwa keturunan Yafet sesungguhnya adalah bangsa Germania. Untuk membenarkan asumsinya Rohden menggunakan argumentasi bahwa semula memang bangsa Israel menjadi bangsa yang terpilih, namun di kemudian hari pusat sejarah dunia bergeser ke barat, mula-mula ke Roma, dan sesudah zaman reformasi ke Jerman sehingga “Jerman menjadi jantung yang mengalirkan darah tubuh Kristen Eropa. Sebagaimana bangsa Israel dipilih Tuhan dari keturunan Sem maka sekarang Jerman adalah bangsa terpilih dari keturunan Yafet.”
Interpretasi alkitab sebagaimana dilakukan oleh Rohden tidak hanya membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan: “Juga di Amerika keturunan Ham dan Yafet bertemu, dan di situ pun terwujud kutukan bahwa Ham harus menjadi budak bagi saudara-saudaranya”.[6] Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan mereka supaya mereka menjadi lebih beradab dan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sesat. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, bangsa keturunan Ham tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.
Dr. Friedrich Fabri (1824–1891) mempunyai latar belakang teologi dan ideologi yang tidak jauh berbeda dengan Rohden, dan yang telah ia bukukan dalam Die Entstehung des Heidenthums und die Aufgabe der Heidenmission (Munculnya Kekafiran dan Tugas Misi Kafir, 1859).
Fabri juga meyakini keunggulan bangsa putih, dan terutama bangsa Germania yang menjadi “penyokong baru sejarah dunia”.[7] Menurutnya kiamat semakin mendekat sehingga penginjilan memiliki tugas untuk menyebarkan agama Kristen sebelum kiamat tiba sehingga para penginjil menjadi alat Tuhan yang memberitahu kedatangan kerajaan Allah. Dalam hal ini ia merujuk pada Matius 24,14 “Dan Kabar Baik tentang bagaimana Allah memerintah akan diberitakan ke seluruh dunia, supaya semua orang mendengarnya. Sesudah itu barulah datang kiamat.”
Sama dengan von Rohden, Fabri juga dipengaruhi oleh paham rasisme:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Kalau kita berhadapan dengan seorang Negro, berkulit hitam pekat, berambut keriting, dengan kepala gepeng berdahi rendah sementara bagian belakang kepala dan bagian bawah muka terlalu besar, dengan bibir lebar dan hidung pesek, kalau kita memperhatikannya betapa ia tak mampu menahan birahinya, lalu tenggelam dalam ketidakpedulian, lamban, tidak mengindahkan apa-apa, acuh tak acuh terhadap siksaan, […] maka kita mendapat kesan: ini bukan hanya manusia purba yang menjadi rusak oleh dosa, di sinilah terbenam sebuah rahasia yang belum tercatat dalam sejarah manusia.[8] (Fabri 1859:8–9)[/icon_text]Fabri menganggap peristiwa pembangunan menara Babel sebagai peristiwa yang menentukan, dan bahwa adanya kekafiran berkaitan langsung dengan peristiwa tersebut. Pada awal sejarah manusia masih menjadi satu keluarga besar dan seluruh umat manusia memiliki satu bahasa yang sama, dan mereka memuja Tuhan yang maha esa. Terdorong oleh kesombongan dan keangkuhan, manusia menjauhkan diri dari Tuhan dan malahan berusaha melebihi Tuhan. Untuk itu mereka mulai membangun menara setinggi langit. Pembangunan menara ini diprakarsai oleh Nimrod, anak cucu Nabi Nuh. Orang tua Nimrod adalah Kush, putra Ham. Bahkan, menurut cerita, Nimrod juga mendirikan kota Babilon dan Niniwe.
11:1 Semula, bangsa-bangsa di seluruh dunia hanya mempunyai satu bahasa dan mereka memakai kata-kata yang sama.
11:2 Ketika mereka mengembara ke sebelah timur, sampailah mereka di sebuah dataran di Babilonia, lalu menetap di sana.
11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain, “Ayo kita membuat batu bata dan membakarnya sampai keras.” Demikianlah mereka mempunyai batu bata untuk batu rumah dan ter untuk bahan perekatnya.
11:4 Kata mereka, “Mari kita mendirikan kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, supaya kita termasyhur dan tidak tercerai berai di seluruh bumi.”
11:5 Maka turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh manusia.
11:6 Lalu Ia berkata, “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa, dan ini baru permulaan dari rencana-rencana mereka. Tak lama lagi mereka akan sanggup melakukan apa saja yang mereka kehendaki.
11:7 Sebaiknya Kita turun dan mengacaukan bahasa mereka supaya mereka tidak mengerti lagi satu sama lain.”
11:8 Demikianlah Tuhan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Lalu berhentilah mereka mendirikan kota itu.
11:9 Sebab itu kota itu diberi nama Babel, karena di situ Tuhan mengacaukan bahasa semua bangsa, dan dari situ mereka diceraiberaikan oleh Tuhan ke seluruh bumi.
Dalam alkitab dikatakan bahwa Tuhan menghukum manusia dengan mengacaukan bahasa dan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Fabri mengaitkannya dengan konsep ras: “Ras, kebangsaan, yang menggantikan keluarga manusia.”[9]
Menurut Fabri Nimrod (cucunya Ham yang bagaimana pun sudah terkutuk) serta keturunannya mendapatkan hukuman yang paling keras karena ia memprakarsai baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan menara Babel:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Semakin besar keterlibatan suatu keturunan [pada pembangunan menara Babel] semakin jelek tubuhnya dan semakin miskin bahasanya, dan semakin banyak dewa pujaan mereka. Semakin kecil keterlibatan semakin indah tubuhnya, semakin kaya bahasanya, semakin berkembang keesaan Tuhan. Kalau kita memahami ini maka menjadi jelas mengapa bangsa Hamit hingga kini menjadi bangsa yang paling hina di muka bumi ini. Sekarang kita mengerti betapa kejahatan yang mereka lakukan ribuan tahun yang lalu menghancurkan tubuh mereka, termasuk warna kulit dan bentuk tubuhnya.[10][/icon_text]Oleh sebab itulah maka bangsa putih berhak untuk menjadi pemimpin, dan bangsa yang berkulit berwarna tidak perlu mengharapkan mendapatkan kemerdekaan sampai pada akhir dunia. Kalau pun mereka memeluk agama Kristen kaum berwarna akan tetap lebih rendah daripada bangsa putih. Karena bangsa berwarna (keturunan Nimrod) merupakan bangsa yang sejak pembangunan menara Babel tidak lagi mengenal keesaan Tuhan dan menjadi bangsa yang kafir sementara pada keturunan Sem dan Yafet masih ada unsur keesaan Tuhan maka bangsa putih pun memiliki kewajiban untuk menyebarkan injil kepada bangsa yang berwarna.
Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri– dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek.
Namun di antara ras berwarna kulit cokelat yang dianggap serba dekaden itu ternyata ada satu bangsa yang tingkat kerusakannya tidak terlalu parah. Dalam majalah Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft Fabri, yang ternyata dipengaruhi oleh Junghuhn, melaporkan bahwa:
[icon_text color=”#333333″ icon=”icon: quote-left” icon_color=”#333333″ icon_size=”14″ target=”blank”]Dibandingkan orang Melayu orang Batak jauh lebih mirip dengan ras Indo-Germania baik dari segi bentuk kepala, tubuh, atau warna kulit. Warna kulitnya sedemikian cokelat muda sehingga malahan ada yang pipinya kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lebat dan lebih lembut daripada rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras Eropa dan Melayu.[11][/icon_text]Berdasarkan dugaan Junghuhn, yang tentu tidak beralasan, Fabri menganggap bangsa Batak lebih unggul daripada bangsa-bangsa Melayu. Menurutnya, bangsa Batak tetap lebih rendah daripada ras putih karena dosa yang dipikul oleh keturunan Ham abadi dan tidak berkurang kendatipun mereka sudah memeluk agama Kristen.
Fabri juga melihat adanya kemiripan antara bangsa Germania dan bangsa Batak karena kedua-duanya dikepung oleh bangsa yang hendak memusnahkannya. Jerman diancam dari barat oleh musuh bebuyutan Prancis yang meracuni bangsa Germania dengan kemerosotan moralnya. Dari timur bangsa Germania diancam oleh bangsa Slawonik yang sangat rendah derajatnya. Demikian juga halnya dengan orang Batak yang, menurut Fabri, dikepung oleh bangsa Melayu. Berdiri sendiri secara kokoh dalam keadaan dikepung oleh musuh merupakan kiasan yang sering dipakai oleh para nasionalis Jerman. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Junghuhn: “Batak merupakan bangsa kecil yang berdiri sendiri dikelilingi oleh bangsa Melayu” (Junghuhn 1847b:13).
Selain daripada rasisme dan chauvinisme tentu ada juga unsur agama karena bangsa yang “mengancam” Jerman beragama Katolik (Prancis dan Polandia) atau Ortodoks (Rusia), dan bangsa Melayu yang “mengancam” orang Batak beragama Islam.
Setelah Jerman bersatu tahun 1871 dalam Deutsches Reich (Kerajaan Jerman) maka raja Prusia menjadi kepala negara dengan gelar kaisar sementara Austria yang Katolik tidak diikutsertakan. Tanpa Austria kaum Katolik menjadi minoritas (14 juta) dibandingkan dengan 24 juta Protestan. Kaum Protestan yang menganggap diri “Jerman sejati” (der wahre Deutsche) meragukan patriotisme kaum Katolik. Segera sesudah Kerajaan Jerman berdiri (didominasi oleh kaum Protestan, dan dengan kepala negara yang Protestan pula) maka ruang gerak Katolik dibatasi melalui pelarangan Ordo Yesuit (1872) dan Maigesetze (undang-undang Mei 1873) yang mendiskriminasikan kaum Katolik. Sikap anti-Katolik juga merasuki tubuh RMG sehingga misi Katolik di Tanah Batak mendapatkan perlawanan hebat dari pihak HKBP yang menganggapnya sebagai “musuh besar” (JB 1932/1933: hal. 33).
Namun musuh yang terbesar adalah Islam yang mereka sebut sebagai “agama nabi yang palsu”, “ajaran sesat”, “ajaran Iblis yang harus diberantas” (Aritonang, 1988:151), dan masjid pernah disebut sebagai “kursi Iblis” (BRMG 1890:368). Penginjil Batakmission Gottfried Simon menjadi spesialis agama Islam di RMG. Buku-bukunya tentu saja condong untuk menyudutkan agama Islam, tetapi ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan keobjektifan – berbeda dengan tokoh-tokoh lain di RMG seperti misalnya direktur RMG Spiecker yang pada tahun 1911 menyerukan agar “seluruh umat Kristen harus berjuang hingga penganut terakhir nabi yang palsu bertekuk lutut”[12].
Catatan
[1] Pada tahun 1971 RMG bergabung dengan Bethel Mission di bawah nama Vereinigte Evangelische Mission (Persatuan Penginjilan Evangelis) yang pada tahun 1996 menjadi Vereinte Evangelische Mission (Penginjilan Evangelis Bersatu).
[2] Kini diperkirakan bahwa air bah terjadi sekitar 5600 SM ketika zaman es berakhir dan permukaan laut naik sehingga Laut Tengah meluap ke dalam Laut Hitam yang sebelumnya merupakan sebuah danau air tawar yang dangkal dan jauh lebih kecil dan yang dikelilingi oleh dataran yang subur. Air yang mengalir melalui Bosporus selama 300 hari dengan kecepatan 96 km/jam melepas volume air 200 kali lipat dari air terjun Niagara, dan membanjiri daratan seluas 155.000 km2.
[3] “Die heilige Schrift stellt es als seine unzweifelhafte Thatsache hin, daß Aegypten oder Mizraim zu der großen Nachkommenschaft des Ham gehört: Mizraim war ein Sohn des Ham und ein Bruder des Cusch (Mohrenland, Aethiopien) und Put (Libyen). Diese drei engverwandten Stämme nahmen den ganzen südlichen Theil Asiens und Afrika ein, wohnten also am indischen und persischen Meere entlang über das südliche Arabien und über die Länder des Nils hinaus nach der afrikanischen Wüste und nach dem atlantischen Ocean hin. Ja auch die Inseln der fernen Südsee, die sich an die südöstlichsten Halbinseln Asiens anreihen, sind ursprünglich und zum Theil noch jetzt von demselben Geschlecht bewohnt.”
[4] “Die Menschen aber haben sich in verschiedener Stufenfolge bald weniger, bald mehr von ihrem göttlichen Lebensquell losgerissen, und in dem Maße wie das geschehen ist, hat sich zugleich mit ihrem sittlichem Bewusstsein und ihren geistigen Fähigkeiten auch ihre Gestalt, ihre Körperform, ihre Farbe verändert. Die am meisen ausgearteten sind auch am tiefsten (schwarz) gefärbt, und in ihrer Erscheinung den Thieren am ähnlichsten geworden. Der himmelsweite Unterschied zwischen Mensch und Thier bleibt immer noch bestehen, das ist die vernünftige menschliche Seele, die den Menschen von Gott eingehaucht ist als Theil und Stück göttlichen Lebens in ihm” (Rohden 1867:4).
[5] “Auch der am tiefsten heruntergekommene Neger kann durch zweckmäßige Anleitung unter dem heiligenden Einfluß des Christenthums auf die Höhe menschlicher Bildung gehoben werden, und in dem selben Maße, als das geschieht, wird seine thierische Gesichtsbildung schwinden, der Ausdruck seines Auges und die weicheren Theile seiner Gestalt sich veredeln, ja seine Farbe, wenigstens in der Folge der Geschlechter, von ihrer Dunkelheit verlieren.” (ibid.)
[6] Auch in der neuen Welt (America) sind Ham’s und Japhet’s Söhne zusammengetroffen, und auch da erfüllt sich das alte Fluchwort, daß Ham’s Nachkomme ein Knecht sein soll unter seinen Brüdern (Rohden 1867:12).
[7] “Die neuberufenen Träger der Weltgeschichte” (Fabri 1859:7).
[8] “Wenn uns ein Neger gegenübersteht, schwarz wie Ebenholz, mit krausem wolligen Haupthaar, mit gedrücktem Schädel und rückwärts gestreckter Stirn, das Hinterhaupt und die untern Gesichtstheile dagegen massiv entwickelt, die Lippen breit aufgeworfen, die Nase platt gedrückt, wenn ich ihn betrachte, jetzt belebt von der tiefsten sinnlichen Gluth, dann wieder in stumpfer, träger Gleichgültigkeit, nicht achtend der Ruthe des Peinigers […] so bekommt man den unwiderstehlichen Eindruck: das sind nicht nur Züge des durch die Sünde überhaupt verunstalteten und materialisirten Urmenschen, hier liegt noch ein ganz besonderes, über alle Aufzeichnungen der Geschichte hinaufreichendes Geheimniß zu Grunde. ”
[9] “Die Rasse, die Nationalität, ist an die Stelle der Menschheitsfamilie getreten.” (Fabri 1859:52)
[10] “Je mehr sich ein Geschlecht daran betheiligte, desto ärmer die Sprache, desto polytheistischer das Gottesbewusstsein; je weniger Betheiligung, desto edler die Gestalt, desto reicher die Sprache, desto mehr Anklänge an den ursprünglichen Monotheismus in der Mythologie. Nun begreifen wir einigermaßen, warum die Hamiten die in jeder Beziehung am meisten zertretenen Völker der Erde bis auf den heutigen Tag sind, und ahnen nun auch, wie das Geheimniß der Bosheit, zu dessen Hauptträgern sie sich vor Jahrtausenden gemacht, seine furchtbaren und entstellenden Wirkungen sebst in Farbe und Körpergestalt bis auf den heutigen Tag ausgeprägt hat.” (Fabri 1859:93-40)
[11] “Weit mehr als die Malaien nähern sie sich dem indogermanischen Völkerstamme, sowohl in der Schädelform, als auch in der Gestalt und Körperfarbe. Ihre Farbe ist so lichtbräunlich, daß man oftmals rothen Wagen unter ihnen begegnet. Sie haben auch ein reicheres und weicheres Haar als die Malaien, öfters von brauner Farbe, und sind stark und muskulös gebaut. Im Ganzen kann man sagen, daß sie zwischen der kaukasischen und malaiischen Race eine gewisse Mittelstellung einnehmen.” (Fabri BRMG 1862:12)
[12] Dikutip dari Jongeling 1966:116.