Sama dengan semua tulisan pra-Islam di Asia Tenggara, aksara Batak juga merupakan turunan dari rumpun aksara Brahmi. Aksara Brahmi digunakan lebih dari 2000 tahun yang lalu di India, dan sejak itu aksara itu berkembang biak sehingga kini ada puluhan sistem tulisan yang menjadi turunan dari aksara Brahmi itu.
Beberapa aksara turunan Brahmi yang terkenal mencakup Dewanagari yang digunakan untuk menulis bahasa Hindi (bahasa nasional India), Khmer (bahasa Kambodia), Thai, Kawi (Jawa Kuno), Hanacaraka (Jawa), Bali, dan Bugis.
Juga termasuk aksara-aksara Pilipina seperti Tagbanua, Hanunó’o atau Buhid. Sama seperti Surat Batak, aksara-aksara di Pilipina juga disebut Surat, Sulat, atau Suyat.
Aksara yang paling dekat dengan Surat Batak adalah aksara Sumatera seperti Surat Had Lampung, Surat Incung (Kerinci), dan Surat Ulu (Rejang, Lebong, Bengkulu).
Semua sistem tulisan ini memiliki beberapa ciri-ciri khas yang sama:
Walaupun aksara Batak Toba disebut sebagai surat na sampulu sia (ke-19 aksara), sebetulnya jumlahnya hanya 18 aksara. Aksara yang ke-19 adalah aksara nya yang hanya diperlukan untuk menulis bahasa Mandailing.
Akan tetapi bila di dalam sebuah pustaha (buku laklak) ada teks yang berkaitan dengan Surat Batak maka aksara nya selalu diikutsertakan. Hal itu membuktikan bahwa aksara Batak duluan ada di Mandailin daripada di Toba.
Berikut ini daftar aksara untuk setiap bahasa daerah. Perlu dicatat bahwa ada empat aksara yang boleh dipakai dan boleh juga tidak. Aksara itu adalah /i/ dan /u/ (ᯤ dan ᯥ) serta /nda/ dan /mba/ (ᯣ dan ᯢ) yang hanya dipakai dalam bahasa Karo (dan di situ pun tidak ada keharusan menggunakan kedua aksara tersebut.