Pelajaran 10

◌ᯬ /o/ (/u/ di Karo)

Di seluruh daerah Batak diakritik berbentuk silang ini diletakkan di sebelah kanan ina ni surat.

Anak ni surat ini bernama Siala Ulu di Mandailing. Seperti juga dalam bahasa Indonesia si adalah kata yang dipakai di depan nama diri atau di depan nama tumbuhan atau binatang. Dalam bahasa Batak kebanyakan diakritik dibentuk dengan menggunakan si atau dengan menggunakan imbuhan ha-…-an.

Contoh pemakaian /o/ pada kata ‘mangadoppon’ di Pustaha Agung

Kata ala ada dalam bahasa Batak dalam beberapa arti, tetapi tidak ada satu pun yang kira-kira sesuai dengan konteks aksara. Oleh sebab itu kami menduga bahwa unsur ala dalam kata Siala barangkali masuk ke dalam bahasa Batak dari bahasa luar.

Tambahan ulu ‘kepala’ digunakan karena posisi anak ni surat ini seperti kepala yang duduk di atas aksaranya. Kalau kita melihat aksaranya sekarang, seolah-olah diakritik itu di sebelah kanan dan bukan di atas, tetapi tidak untuk orang Batak di tempo dulu: mereka menulis dari bawah ke atas.

Tambahan ulu ‘kepala’ hilang ketika istilah itu dipinjam oleh orang Toba walaupun posisinya tetap di kepala aksara.

Dalam Kamus Batak – Jerman, Johannes Warneck menyebut adanya bentuk kedua untuk anak ni surat ini, yaitu Hasialaan. Sebagaimana juga untuk anak ni surat lainnya seolah terasa ada kurangnya kalau tidak dibubuhkan imbuhan ha-…-an pada Siala.

Warneck malah menyebut adanya bentuk ketiga, yaitu Sihora. Hora artinya ‘musang’.

Di Pakpak nama Toba digunakan dengan menyesuaikannya dengan ejaan Pakpak menjadi Sikora.

Di Karo namanya Sikurun. Apakah nama tersebut ada hubungan dengan Sihora tidak jelas.

Nama Simalungun Sihorlu juga tak jelas baik dari segi arti maupun asal-muasal.

Diakritik ini untuk menandai bunyi [o]. Akan tetapi di Karo diakritik yang sama menandai bunyi [u].

Berikut ada beberapa contoh:


Karo Simalungun Toba Mandailing
Beru/Boru
‘anak perempuan’
ᯆᯧᯒᯬ
(bəru)
ᯅᯬᯓᯮ
(boru)
ᯅᯬᯒᯮ
(boru)
ᯅᯬᯒᯮ
(boru)
Telu/Tolu
‘tiga’
ᯗᯧᯞᯬ
(təlu)
ᯖᯬᯞᯮ
(tolu)
ᯗᯬᯞᯮ
(tolu)
ᯖᯬᯞᯮ
(tolu)

Tabel 1: Contoh Penggunaan diakritik ᯬ

Dalam aksara Karo Sikurun berbentuk silang adalah satu-satunya bentuk yang digunakan, dan orang Karo tidak pernah menggunakannya bentuk [u] yang ada di luar daerah Karo.

Tentu saja Karo juga memiliki diakritik yang mewakili bunyi [o], yang akan dibahas dalam pelajaran berikut.

Kalau orang Karo menulis surat atau puisi yang romantis dan sekaligus menyedihkan yang bernama bilang-bilang maka sang penerima tulisan mereka selalu seorang Karo juga. Tentu saja dalam tulisan-tulisan seperti yang di atas mereka selalu menggunakan Sikurun untuk [u], dan tidak pernah untuk [o].

Jika orang Karo menulis sebuah buku yang mengandung hal yang berkaitan dengan ramalan dan ilmu gaib maka si pembaca buku itu belum tentu orang Karo. Buku kulit kayu itu dikenal sebagai pustaha, atau pustaka dalam ejaan Karo.

Di zaman prakolonial orang Batak jarang mengadakan perjalanan karena bahaya. Jalan yang ada juga tidak selalu dipelihara dengan baik. Memang ada perdagangan tetapi hanya dalam skala sangat kecil. Yang harus diimpor selain logam terutama garam, dan yang diekspor hasil hutan dan juga kuda dari Samosir.

Selain para pedagang, hanya kaum datu atau guru yang dapat mengadakan perjalanan jarak jauh karena mereka sangat dihargai oleh masyarakat.

Tidak jarang ada seorang guru dari Karo yang berjalan sampai di Mandailing. Mereka kadang-kadang menetap dan menerima murid yang belajar darinya. Tentu saja guru dari Karo tersebut harus terlebih dahulu mempelajari bahasa setempat. Hal itu tidak terlalu sulit karena setiap guru harus menguasai bahasa rahasia mereka yang bernama hata poda ‘bahasa instruksi’. Karena hata poda merupakan dialek kuno dari cabang selatan, maka bahasanya mirip dengan bahasa Batak selatan (Simalungun, Toba, dan Mandailing).

Jadi pada hakekatnya setiap guru dari Karo sudah mengetahui dasar bahasa-bahasa selatan, dan bagi para guru, entah dari mana pun mereka berasal, komunikasinya biasanya lancar juga karena banyak di antaranya mengetahui lebih dari satu bahasa.

Kalau seorang guru dari Karo menulis hata poda maka, terutama bila pengetahuannya belum sempurna, maka dia akan sering mencampuri hata poda dengan kata-kata dari bahasa Karo, dan malahan dia juga sering menggunakan ejaan Karo. Misalnya kata poda yang dalam bahasa Karo adalah pedah, akan dieja podah.

Malahan ada guru dari Karo yang menggunakan Sikurun untuk [o] dan juga untuk [u]. Mengapa hal itu dilakukan tidak jelas, tetapi mungkin karena sang guru tidak terbiasa dengan cara menulis [u]-selatan yang memang agak rumit dan yang akan dibahas dalam pelajaran berikut.

Latihan