Pendahuluan
Sudah pada pertengahan abad ke-19 ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk, yang menjadi orang pertama untuk meneliti bahasa-bahasa di Sumatera Utara, menyadari bahwa bahasa Pakpak, Toba, dan Mandailing memiliki begitu banyak persamaan sehingga beliau mengelompokkan ketiga bahasa tersebut di dalam suatu kelompok yang ia namakan Batak. Pada waktu itu orang Eropa sudah tahu adanya Karo yang sudah dikunjungi oleh seorang Inggris bernama Anderson (mission to the east coast of sumatra) tetapi belum diketahui bahwa Karo memiliki bahasa yang berbeda dengan Dairi. Sementara adanya bahasa Simalungun belum diketahui ketika van der Tuuk memerbitkan Tobasche Spraakkunst pada tahun 1864.
Ahli bahasa Petrus Voorhoeve, yang fasih berbahasa Toba dan Simalungun, mengelompokkan bahasa-bahasa Batak dalam dua. subkelompok, yaitu Batak Utara yang terdiri atas bahasa Karo, Pakpak, dan Alas dan Batak Selatan yang terdiri atas Toba dan Mandailing. Sementara Simalungun, menurut Voorhoeve, merupakan bahasa yang berdiri di antara kedua kelompok tadi. Adelaar dapat menunjukkan bahwa Simalungun sesungguhnya merupakan anggota kelompok Batak Selatan, dan teori ini juga didukung oleh Himpun Panggabean, Robert Sibarani, Dwi Widayati, dan Namsyah Hot Hasibuan (2013). Namun demikian, ahli bahasa asal Australia Geoff Woollams (2005:535) menunjukkan bahwa dari segi jumlah cognates (kata kerabat), Simalungun dan Karo memiliki tingkat kesamaan 80%, hampir sama tinggi dengan Karo-Pakpak (81%), dan malah lebih tinggi daripada Karo-Alas (76%). Jadi, walaupun dari segi fonetis (bunyi) Simalungun menjadi anggota kelompok Batak Selatan, dari segi leksikon (kosa kata) Simalungun cukup dekat dengan Karo.
Selama ini hubungan kekerabatan antara Karo dan Toba dari segi leksikon (kosa kata atau lema) belum pernah diteliti dengan tuntas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan antara Toba dan Karo, dari segi cognates, adalah sebesar 75%.
Hubungan bahasa Batak dengan bahasa Sumatra lainnya
Para ahli linguistik hingga sekarang belum bersepakat bagaimana menggolongkan bahasa-bahasa Batak dan bahasa lain yang bukan Melayu di Sumatera. Menurut Nothofer (1986), bahasa-bahasa Batak dapat dikelompokkan bersama dengan bahasa Gayo, Enggano, Nias, Mentawai, Sikule, dan Simeulue. Kelompok ini dinamakannya Batak–Barrier Islands languages. Smith (2017:444) setuju dengan pengelompokan tersebut, tetapi menambahkan bahasa Nasal yang dituturkan oleh suku Nasal yang mendiami empat desa di kecamatan Maje dan Nasal di kabupaten Kaur, Bengkulu. Smith menamakan kelompok tersebut “Sumatera”.
Sementara bahasa-bahasa yang lain di Sumatera (Bahasa Melayu, Minangkabau, Kerinci, Aceh, Rejang, Lampung dll.) dijadikan satu kelompok dengan bahasa Jawa, Madura, Bali, Sasak dan Sumbawa. Kelompok ini dinamakan Western Indonesian (WIN).
Kalau memang benar bahwa bahasa-bahasa Batak menjadi satu kelompok dengan bahasa Gayo, Enggano, Nias, Mentawai, Sikule, dan Simeulue, mengapa Batak–Barrier Islands languages tersebut memiliki begitu sedikit hubungen dengan bahasa-bahasa Batak dari segi leksikon? Di antara bahasa-bahasa tersebut, satu-satunya bahasa yang memiliki hubungan agak erat dengan bahasa-bahasa Batak, hanya bahasa Gayo.
Alas dan Gayo
Orang Gayo dan orang Alas adalah dua suku bangsa yang hidup berdekatan. Suku Gayo yang jumlah penduduknya mencapai 336.856 jiwa mendiami dataran tinggi Gayo di provinsi Aceh, terutama di tiga kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Selain itu suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur.
Sedangkan suku Alas mendiami Kabupaten Aceh Tenggara. Mereka berbahasa Alas dengan jumlah penutur 195.000 jiwa. Bahasa Alas sangat berbeda dengan bahasa Gayo. Tingkat kesamaan menurut Kurnia Novita Sari (2013) hanya setinggi 62% dan menurut Dardanila (2016) bahkan hanya 52,5 sehingga komunikasi tidak mungkin. Suku Kluet di kabupaten Aceh Selatan juga menggunakan bahasa yang hampir sama dengan bahasa suku Alas.
Walaupun bahasa Alas cukup berbeda dengan Gayo, kerabat bahasa Alas yang paling erat malahan bahasa Pakpak dan Karo. memiliki banyak kesamaan kosa kata dengan bahasa Karo sehingga sebagian orang Alas, terutama yang tinggal dekat Kabupaten Karo, mengerti bahasa Karo. Tingkat kesamaan menurut Dardanila (2016:) 73% dan menurut Woollams (2005:535) 76%. Sementara tingkat kesamaan Gayo dengan Karo menurut Dardanila (2016) hanya 43,5 persen.
Suku Alas cukup berbeda dengan suku-suku Batak yang memiliki marga sedangkan Alas tidak. Namun bahasanya saking dekat dengan Karo dan Pakpak sehingga bahasa Alas dapat dikelompokkan sebagai anggota Batak Utara.
Walaupun cukup berbeda dengan bahasa-bahasa Batak, bahasa Gayo merupakan anggota terdekat dari kelompok bahasa Batak–Barrier Islands.
Lalu bagaimana hubungan bahasa-bahasa Batak dengan anggota Batak–Barrier Islands lainnya? Nias, misalnya, yang dari segi geografis masih cukup dekat karena sama-sama terletak di Provinsi Sumatera Utara, memiliki hubungan kekerabatan dengan Batak hanya sebanyak “beberapa patah kata” (van der Tuuk 1971:xlix). Menurut Gaho (2011) tingkat kekerabatan bahasa Nias dengan bahasa Mandailing hanya setinggi 48% sementara menurut penelitian Sherly Novita dan Dwi Widayati (2019) tingkat kesamaan antara bahasa Nias dan bahasa Karo 21%. Hal itu tidak berarti bahwa Mandailing lebih dekat dengan bahasa Nias. Penelitian yang dilakukan, khususnya penelitian untuk skripsi, acap bermutu rendah dengan cara perolehan dan penginterpretasian data yang rancu, sehingga hasilnya dapat diragukan. Namun untuk tujuan kita cukup untuk mengetahui bahwa tingkat kekerabatan antara bahasa-bahasa Batak dengan bahasa Nias sangat rendah. Setahu saya belum pernah ada yang membandingkan bahasa Rejang dengan Batak, namun ketika saya melihat daftar Swadesh dengan data Rejang di
Bahasa Melayu
.
Sementara bahasa-bahasa yang lain, termasuk bahasa-bahasa dari Batak–Barrier Islands languages, memiliki tingkat kesamaan yang rendah dengan bahasa-bahasa Batak.
Karo, misalnya, hanya memiliki tingkat kekerabatan setinggi 30% dengan bahasa Melayu.
Lexikostatistik
Para linguist menggolongkan bahasa pada rumpun. Seperti diterangkan di atas bahasa-bahasa Batak termasuk dalam rumpun Sumatera.
Misalnya bahasa-bahasa Indo-Eropa merupakan satu rumpun dengan berbagai cabang. Bahasa Italia misalnya termasuk cabang bahasa-bahasa Romawi. Bahasa Rusia termasuk cabang bahasa-bahasa Slavia, bahasa Inggris termasuk bahasa-bahasa Germania dsb.
Artinya bahasa Perancis misalnya banyak memiliki persamaan dengan bahasa Italia karena keduanya satu rumpun (Romawi). Kedua bahasa tersebut memiliki persamaan 89% kosa kata. Namun, karena pengucapan yang sangat berbeda maka orang Italia hanya bisa mengerti sedikit saja bahasa Perancis, tetapi kalau mereka membaca bahasa Perancis hampir semua dapat dimengerti. Pada umumnya apabila pasangan bahasa memiliki tingkat kesamaan lebih daripada 90% maka dianggap dialek.
Metode untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa disebut leksikostatistik. Ada dua daftar kata yang lazim digunakan. Yang paling umum adalah daftar Swadesh, tetapi yang menjadi populer belakangan ini juga daftar kata Leipzig-Jakarta yang dikatakan lebih akurat.
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam satu cabang seperti bahasa-bahasa Germania misalnya (Jerman, Belanda, Inggris, Denmark, Norwegia, Swedia, Islandia) erat berhubungan satu sama lain (60-90%), tetapi hubungan dengan bahasa lain yang masih serumpun tetapi beda cabang lebih jauh. Jerman dengan Perancis misalnya tingkat kesamaan hanya sekitar 30%.
Pembaharuan
Cara untuk mengidentifikasikan anggota-anggota dari satu kelompok bahasa adalah dengan mengidentifikasikan unsur-unsur yang ada pada semua anggota, tetapi tidak terdapat dalam bahasa yang lain. Unsur tersebut bisa berupa pembaharuan. Misalnya bagaimana kita dapat menjelaskan kata kibul yang ada dalam semua bahasa Batak dalam bentuk kibul atau hibul? Terus yang mana yang bentuk purba (asli)? Kibul atau Hibul? Bentuk purba adalah *kibul (bintang menunjukkan bentuk purba yang direkonstruksi). Dalam bahasa Toba ada rumus fonetik bahwa /k/ di awal kata selalu menjadi /h/. Kita tahu bahwa kibul/hibul adalah kata dengan arti ‘bulat’ yang hanya ada dalam bahasa-bahasa Batak dan tidak ada dalam bahasa Austronesia mana pun dengan arti yang serupa. Oleh sebab itu kita tahu bahwa 1. kata kibul adalah kata ciptaan baru khusus di antara bahasa-bahasa Batak; dan 2. bahasa-bahasa Batak merupakan satu rumpun.
Untuk membuktikannya satu kata tentu tidak cukup. Baru kalau ada sejumlah kata yang merupakan pembaharuan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, tetapi tidak dimiliki oleh bahasa lain (shared innovations) maka kita bisa menganggapnya sebagai suatu kelompok.
Apakah ada kelompok bahasa-bahasa Batak?
Apakah bahasa-bahasa Batak memang merupakan satu keluarga hanya dapat ditentukan berdasarkan pengamatan a) kosa kata dan b) fonetis (bunyi). Misalnya kata aha (apa) terdapat pada bahasa Simalungun, Toba, dan Mandailing. Sedangkan di Karo, Pakpak dan Alas menjadi kai.
Bilamana kita sudah tahu dengan pasti bahwa ada sejumlah bahasa memiliki moyang atau induk yang sama (“perintis” istilah linguistik) maka kita bisa pula menentukan apakah di antara bahasa-bahasa anak ada yang dapat dikelompokkan sebagai rumpun.
Di dalam bahasa-bahasa Batak ada dua kata untuk ‘ular’, yakni ulok, dan nipi. Ulok dipakai di Simalungun, Toba, dan Mandailing sedangkan nipi digunakan di Karo dan Pakpak. Ada puluhan contoh seperti ini:
Karo | Pakpak | Simalungun | Toba | Mandailing | Indonesia |
---|---|---|---|---|---|
kai | kai | aha | aha | aha | apa |
nipe | nipe | ulok | ulok | ulok | ular |
cimber | ? | timus | timus | timus | asap |
kucing | ? | huting | huting | huting | huting |
tulan | ? | holi | holi | holi | tulang |
tualah | ? | halambir | harambir | harambir | kelapa |
kerah | kerah | horah | horang | koring | kering |
nakan | nakan | indahan | indahan | indahan | nasi |
Dari daftar di atas tampak bahwa di dalam bahasa-bahasa Batak ada dua kelompok 1. Utara (Karo & Pakpak) dan 2. Selatan (Simalungun, Toba, Mandailing).
Pengelompokan berdasarkan fonologi
Dalam bahasa-bahasa Batak terdapat banyak kata yang sama dengan bahasa Indonesia. Memang kadang-kadang ada kata yang dipinjam dari bahasa Indonesia, tetapi kebanyakan kata bukan pinjaman tetapi memang sama karena baik bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa Batak memiliki induk (perintis) yang sama. Karena bahasa-bahasa Batak dan bahasa Melayu (Indonesia) berlainan kelompok maka tingkat kesamaan relatif rendah: sekitar 30%.
Contoh kata-kata yang sama adalah: kita, besi, aku, rumah, dan dareh. Kelima kata persis sama bentuk baik dalam bahasa Melayu dan juga dalam bahasa Karo (kecuali kata darah yang mengalami sedikit perubahan) .
Namun, coba kita menengok kelima kata dengan lebih teliti. Bentuk kita hanya terdapat di Karo dan Pakpak sementara di Simalungun, Toba dan Mandailing bentuknya adalah hita. Bentuk besi juga hanya terdapat di Karo dan Pakpak sementara di Simalungun, Toba dan Mandailing bentuknya adalah bosi. Bentuk aku hanya terdapat di Karo dan Pakpak sementara di Simalungun, Toba dan Mandailing bentuknya adalah ahu. Bentuk rumah terdapat di Karo, Pakpak dan Simalungun sementara di Toba dan Mandailing bentuknya adalah ruma. Dan kata ‘darah’ hanya terdapat di dalam bahasa-bahasa Batak dengan sedikit perubahan: dareh di Karo dan Pakpak, daroh di Simalungun, dan daro di Toba dan Mandailing.
Dari contoh di atas kita dapat melihat bahwa dari segi fonologi (ilmu bunyi) bahasa-bahasa Batak dapat dibagi menjadi dua kelompok yang diturunkan dari satu induk (Proto Batak atau Batak Purba): 1. Utara (Karo dan Pakpak), 2. Selatan (Simalungun, Toba, Mandailing). Kita dapat juga melihat bahwa -h pada akhir suku kata luluh di kelompok Selatan kecuali pada bahasa Simalungun. Oleh sebab itu maka kita dapat merekonstruksikan bahasa-bahasa Batak seperti di dalam gambar berdasarkan fonologi.
Pengelompokan berdasarkan leksikografi
Tingkat kesamaan di atas 90% berarti bahwa komunikasi antarbahasa relatif mudah. Perbedaan yang ada boleh dikatakan lebih seperti dialek daripada bahasa. Contoh adalah bahasa Minangkabau Tapan dengan bahasa Kerinci yang menurut Mariati dan Nova Rina (2018) setinggi 92%. Di antara bahasa-bahasa Batak tidak ada yang memiliki tingkat kesamaan di atas 90%. Oleh sebab itu maka kelima bahasa Batak patut dinamakan bahasa dan bukan dialek.
Bila ada orang Pakpak, orang Karo, dan orang Alas bertemu, dan sekiranya mereka hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa ibu mereka, maka mereka cepat akan menyadari bahwa mereka harus berbicara pelan-pelan agar saling mengerti. Kata gelar (Karo) dan garrar (Pakpak), walaupun dianggap kosa kata yang sama, kedengarannya sangat berbeda! Walaupun ketiga bahasa itu memiliki tingkat kesamaan yang lumayan tinggi, tidak berarti bisa berkomunikasi dengan lancar. Tingkat kesamaan antara bahasa Karo dengan Pakpak adalah 81% dan dengan bahasa Alas 76%. (Woollams 1996:4). Woollens juga menyebut bahwa tingkat kesamaan antara Karo dan Simalungun 80%, yaitu kira-kira sama dengan tingkat kesamaan antara bahasa Spanyol dengan bahasa Italia (82%). Pada kedua bahasa tersebut kita mengetahui bahwa induknya adalah bahasa Latin namun apa nama induk bahasa Karo dan Simalungun kita tidak tahu.
Tingkat kesamaan antara Toba dan Mandailing mestinya juga berada di kisaran yang serupa, namun menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Farida Meliana Hutabarat, Ermanto, dan Novia Juita dari Universitas Negeri Padang menyebut bahwa tingkat kesamaan antara kedua bahasa tersebut hanya 64%. Sayang, data penelitian tidak dilampirkan sehingga data tidak dapat diperiksa ulang, dan hasil yang jelas terlalu rendah mungkin disebabkan oleh sumber informasi yang kurang dapat diandalkan.
Hal yang serupa juga terjadi ketika Sara Elliza [Situmorang] (2012) mengajukan skripsi kepada Universitas Negeri Jakarta untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana. Dalam skripsi yang berjudul Kekerabatan bahasa Batak Toba dan bahasa Batak Karo (suatu kajian linguistik historis komparatif) Sara menyimpulkan bahwa tingkat kesamaan kedua bahasa hanya 40,5%. Sara hanya mengandalkan narasumber tanpa mengecek ulang data yang diperoleh dengan kamus yang ada. Terlalu sering ia gagal mengetahui pasangan kata sebagai kata yang berkerabat. Menurutnya, bahasa Karo kesah dan bahasa Toba hosa bukan kata yang berkerabat. Pada hal bunyi [k] pada awal suku kata selalu menjadi [h] di Toba, bunyi [ǝ] (e-pepet) hampir selalu menjadi [o] dan bunyi [h] pada akhir suku kata selalu luluh di Toba. Artinya kesah dan hosa, yang bagi orang awam pasti kedengaran sangat asing, bagi seorang linguist terlatih mestinya merupakan pasangan kata yang sangat berkerabat.
Untuk mengecek ulang tingkat kekerabatan antara bahasa Karo dan bahasa Toba maka penulis mengadakan penelitian yang menggunakan bukan daftar daftar Swadesh melainkan daftar Leipzig-Jakarta yang dikatakan lebih andal. Menurut penelitian penulis, tingkat kesamaan antara Karo dan Toba setinggi 70%. Pada kisaran antara 70 dan 80% maka komunikasi menjadi serba sulit. Contoh adalah bahasa Italia dengan bahasa Portugal (75%). Kedua bahasa memang termasuk pada rumpun yang sama, Romawi, dan masing-masing keturunan bahasa Latin, tetapi karena kedua negara terpisah dengan jarak 2500km maka tidak mengherankan bahwa perkembangan kedua bahasa tersebut berbeda.
Pada tingkat kesamaan di bawah 70% berarti bahwa walaupun banyak kata yang sama, komunikasi biasanya tidak mungkin. Contoh adalah bahasa Jerman dengan bahasa Inggris (60%).
Bagaimana dengan bahasa yang tingkat kesamaan malahan di bawah 50%? Pada kisaran 40 hingga 50% maka komunikasi macet total namun karena masih ada kata yang sama atau mirip maka masih dirasakan ada hubungannya, meskipun jauh. Contohnya bahasa Karo dengan bahasa Gayo yang tingkat kesamaannya menurut Dardanila (2016:) 43,5%.
Bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa memiliki tingkat kesamaan lebih rendah lagi – sekitar 30% – kira-kira sama dengan Karo-Indonesia/Melayu (30%), Perancis-Inggris (27%), atau Peranci- Jerman (29%).
maka ahli bahasa Geoff Woolams menulis bahwa bahasa Karo dan bahasa Simalungun memiliki sekitar 80% tingkat kesamaan kosa kata (lexical similarity).
Karena Karo dan Toba berada di dua cabang bahasa yang berbeda maka jumlah kesamaan kosa kata lebih rendah daripada Simalungun-Karo, sekitar 75%.
Untuk menentukan jauh-dekat sepasangan bahasa, misalnya Karo dengan Toba, selain dengan tingkat kesamaan, kita dapat juga meneliti shared innovations dan shared retentions. Yang pertama merupakan perubahan yang terjadi di dalam satu kelompok bahasa.
Dengan membandingkan bahasa para linguist dapat menentukan bahasa mana
Karo | Toba | Indonesia |
---|---|---|
adi | adi | henti |
babah | baba | mulut |
badia | badia | hormat |
baso | baso | |
begu | begu | roh |
belgeh | bolga | tebal |
belin | bolon | besar |
beltek | boltok | perut |
bena | bona | mula |
bentar | bontar | putih |
bergeh | borgo | dingin |
berkat | borhat | berangkat |
berngin | borngin | malam |
beru | boru | perempuan |
beteh | boto | tahu |
betik | botik | papaya |
biang | biang | anjing |
biar | biar | takut |
buat | buat | ambil |
bue | bue | banyak |
buk | obuk | rambut |
bulung | bulung | daun |
dabuh | dabu | jatuh |
daram | daram | cari |
deher | dohor | dekat |
demu | domu | temu |
dung | dung | selesai |
eltep | ultop | sumpit |
ende | ende | lagu |
gagat | gagat | makan (binatang) |
galar | garar | bayar |
galuh | gaol | pisang |
gara | rara | merah |
gedang | godang | panjang |
geluh | ngolu | hidup |
gersing | gorsing | kuning |
idah | ida | lihat |
ido | ido | minta |
ihung | igung | hidung |
iluh | ilu | air mata |
inem | inom | minum |
ingan | ingan | tempat |
ipen | ipon | gigi |
ise | ise | siapa |
jabu | jabu | keluarga |
jelma | jolma | manusia |
jemput | jomput | pegang |
julu | julu | hulu |
kabang | habang | terbang |
kalak | halak | orang |
kapal | hapal | tebal |
keleng | holong | sayang |
kesah | hosa | napas |
kibul | hibul | bulat |
kite | hite | jembatan |
kuling | huling | kulit |
kundul | hundul | duduk |
lacina | lasina | cabai |
lako | laho | untuk |
lego | logo | kemarau |
lenga | longa | wijen |
manuk | manuk | ayam |
medem | modom | tidur |
menci | monsi | tikus |
pangir | pangir | langir |
pasu-pasu | pasu-pasu | berkat |
pedah | poda | nasehat |
pele | pele | sembah |
pertibi | portibi | dunia |
piga | piga | berapa |
pudi | pudi | balakang |
pulung | pulung | kumpul |
ratah | rata | hijau |
reh | ro | datang |
rengit | rongit | nyamuk |
rudang | rudang | bunga papaya |
salin | salin | tukar |
sira | sira | garam |
sirang | sirang | pisah |
sopo | sopo | gubuk |
suan | suan | tanam |
suan | suan | tanam |
sungkun | sungkun | tanya |
tabeh | tabo | enak |
tading | tading | tinggal |
talu | talu | kalah |
tendi | tondi | roh |
tengka | tongka | pantang |
teruh | toru | bawah |
tiga | tiga | pasar |
tubuh | tubu | lahir |
tukur | tuhor | beli |
turi-turin | turi-turian | cerita |
tutung | tutung | bakar |
tutur | tutur | berkerabat |
udan | udan | hujan |
ukur | uhur | pikir |
ula | ulang | jangan |
uli | uli | bagus |
ulih | uli | upah |
Rina, Nova & Mariati, Mariati. 2018. Hubungan kekerabatan bahasa Minangkabau Tapan dengan bahasa Kerinci Sungai Penuh. Jurnal Gramatika Vol 4, No 1
Gaho, Efeadi. (2011) Kekerabatan Bahasa Nias dan Bahasa Mandailing Suatu Tinjauan Leksikostatistik. Skripsi, Universitas Negeri Padang. http://repository.unp.ac.id/id/eprint/4222
Himpun Panggabean; Robert Sibarani; Dwi Widayati & Namsyah Hot Hasibuan. 2013. Reconstruction and Sub-grouping of Batak Languages. IOSR Journal of Humanities and Social Science (IOSR-JHSS). Volume 18, Issue 6, hal. 35-55.
Dardanila. 2016. Kekerabatan Bahasa Karo, Bahasa Alas, dan Bahasa Gayo (Kajian Linguistik Historis Komparatif). PhD thesis, Universitas Sumatera Utara. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/19364
Juliana s.s. 2012. Kekerabatan Bahasa Nias, Bahasa Batak, dan Bahasa Melayu. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. https://dapobas.kemdikbud.go.id/home?show=isidata&id=2731
Juliana. 2013. Tingkat Kekerabatan bahasa Mandailing, bahasa Jawa, dan bahasa Aceh. Medan Makna. Vol. XI No. 1 Hlm. 107-114.
Kurnia Novita Sari. 2013. Leksikostatistik Bahasa Aceh, Bahasa Alas, dan Bahasa Gayo: Kajian Linguistik Historis Komparatif. Suluk Indo, vol. 2, no. 1, hal. 113-129. (aslinya Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2012).
Nafri Yanti. 2017. Hubungan Kekerabatan Bahasa Rejang, Serawai, dan Pasemah dengan Menggunakan Teknik Leksikostatistik. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu. Genta Bahtera, 3 (2). hal. 77-93. ISSN 2503-2135. http://repository.unib.ac.id/16369/
Sherly Novita & Dwi Widayati. 2018. Kekerabatan Kosa Kata Bahasa Karo, Bahasa Nias, dan Bahasa Simalungun di Kota Medan: Kajian Linguistik Historis Komparatif. Tesis: Program Magister Linguistik, Universitas Sumatera Utara, Indonesia. Linguistica. Vol. 26. No.2 hal.
Smith, Alexander D. 2017. The Western Malayo-Polynesian Problem. Oceanic Linguistics Vol. 56 No. 2, hal. 435-490.
Munthe
Gayo :
Nipe : ular
Ulak : pulang
Jema : manusia
Suen : tanam
Ipon : gigi
Jemput : pegang sedikit
Ringut : kerut, cemberut