Pelajaran 11

◌ᯮ ◌ᯨ ◌ᯧ

Anak ni surat ini adalah diakritik yang paling rumit dan yang paling beragam. Pada hal bentuknya sangat sederhana berupa anak panah yang mengarah ke kanan.

Seperti dapat dilihat di atas, diakritik ini hanya satu bentuk, tetapi tiga posisi: atas, menengah, dan bawah. Walau beragam, namanya pada hakekatnya hanya satu: boruta yang di kemudian hari diinterpretasikan ulang menjadi borot, dan di dalam bahasa Batak Utara menjadi beret [bǝrǝt].

Di Mandailing diakritik ini punya dua nama: Boruta dan Buruta. Akhiran -ta adalah pronomina untuk persona pertama jamak (kita). Arti kata buru sama dengan bahasa Indonesia. Boru beraerti Boru berarti  ‘anak perempuan’ sehingga Boruta bermakna ‘anak perempuan kita’.

Di Toba juga ada dua nama. Yang pertama, Haboruan, memiliki boru ‘anak perempuan’ sebagai akar kata. Yang kedua, Haborotan. Borot berarti ‘tambat’.

Nama Simalungun untuk diakritik ini, Haboritan, tampaknya berasal dari akar kata borit ‘sakit’, namun kami yakin bahwa Haboritan merupakan penyimpangan dari kata Haborotan, yaitu nama diakritik kedua di Toba.  Haborotan itulah yang menurunkan bentuk Karo dan Pakpak Kebereten dan Kabereten.

Kami menduga bahwa akar borot diciptakan dari kata boruta, mungkin untuk memberi diakritik ini sebuah nama yang lebih masuk akal.

Akar kata borot (bahasa Batak selatan) dan bərət (bahasa Batak utara) memiliki arti ‘tambat’. Dalam upacara adat Batak terkenal ritus dengan kerbau atau kuda sebagai kurban. Sebelum dipotong, hewan itu ditambat pada borotan, yaitu tiang penambatan.

Imbuhan ke-…-en atau ka-…-en di kelompok bahasa Batak utara, dan ha-…-an di dalam kelompok  bahasa Batak selatan memiliki arti yang sama dengan ke-…-an dalam bahasa Indonesia, yaitu membentuk kata benda.  Imbuhan itu yang dipakai untuk membentuk  Kəbərətən (Karo), Kabərətən (Pakpak), Haboritan (Simalungun), dan Haborotan (Toba).

Anak ni surat ini memiliki tiga posisi terhadap ina ni surat. Letaknya selalu di sebelah kanan, tetapi posisi vertikal ada tiga:

◌ᯮ /u/

Karo • Pakpak • Simalungun • Toba • Mandailing

Dalam posisi bawah diakritik ini ada di dalam semua aksara Batak kecuali Karo dan nilai fonetisnya tetap [u] (sementara Karo menggunakan Sikurun untuk [u]).

Diakritik ini bernama Haborotan karena borot  ‘tertambat’ pada aksara. Kadang-kadang diakritik ini menyatu dengan aksaranya seperti ini:

ᯖ + ᯮ = ᯖᯮ /tu/
ᯂ + ᯮ = ᯂᯮ /hu/
ᯔ + ᯮ = ᯔᯮ /mu/

Di dalam seni cetak (tipografi) gabungan dua aksara yang menjadi satu disebut ligatur.

Kata ligatur berasal dari bahasa Latin dengan arti ‘tali penambat’. Di dalam ilmu paleografi (ilmu tentang tulisan kuno), ligatur adalah gabungan dua grafem yang berlainan (grafem adalah satuan terkecil sebagai pembeda dalam sebuah sistem aksara). Misalnya a dan e acap dijadikan ligatur berbentuk æ, dan n bila digabung dengan g menjadi ŋ.

Namun diakritik tidak selalu “tertambat” membentuk ligatur.

uluTergantung pada aksara, pada penulis, dan juga pada daerah, kadang-kadang diakritik bersatu membentuk ligatur dan kadang-kadang tidak. Pada umumnya /sa/ dan /pa/ tidak bersatu dengan /u/, dan /la/ pun tidak selalu membentuk ligatur, dan bisa ditulis terpisah sebagaimana dapat dilihat pada gambar di sebelah kiri.

hasuhutonᯘ + ᯮ = ᯘᯮ /su/                            Hasuhuton:

12ᯇ + ᯮ = ᯇᯮ /pu/                           Sampulu duwa:

Sebagaimana dapat dilihat pada contoh di atas tidak selalu mudah untuk menentukan apakah /u/ bersatu dengan konsonan sebelumnya atau tidak. Hal itu disebabkan oleh alat tulis yang relatif tebal.

Cara biasa untuk memadukan diakritik /u/ dengan aksara adalah sebagai berikut.

ᯀᯮ ᯂᯮ ᯅᯮ ᯇᯮ ᯉᯮ ᯋᯮ ᯍᯮ ᯎᯮ ᯐᯮ ᯑᯮ ᯒᯮ ᯔᯮ ᯖᯮ ᯗᯮ ᯘᯮ ᯛᯮ ᯝᯮ ᯞᯮ

Di Mandailing ada cara tersendiri untuk memadukan Boruta dengan /sa/; yaitu dengan sebuah garis di atas huruf sa .

◌ᯨ

Karo • Pakpak • Simalungun • Toba • Mandailing

aksara podi

Diakritik dengan posisi ini hanya ada di Pakpak dan di Karo. Di Pakpak, namanya ᯂᯆᯨᯒᯨᯗᯉᯨ᯳ ᯇᯬᯑᯪ (kabərətən podi). Dinamakan podi (belakang) karena posisinya di belakang aksaranya bila aksaranya ditulis dari bawah ke atas seperti biasa pada masyarakat Batak. Nilai fonetisnya [ə].

Diakritik ini juga ada di Karo sebagai salah satu dari dua varian untuk bunyi [o]. Walaupun bentuknya sama dengan Kabereten Podi, namanya diakritik ◌ᯨ bukan Kebereten melainkan Ketolongen. Oleh sebab itu maka huruf ini akan diuraikan pada pelajaran berikut.

◌ᯧ [ə]

Karo • Pakpak • Simalungun • Toba • Mandailing

Diakritik ini hanya ada dalam bahasa Karo. Namanya ᯂᯧᯆᯧᯒᯧᯗᯉᯧ᯳ [kəbərətən]. Posisinya selalu di tengah. Nilai fonetisnya [ə].

Latihan