Dalam bahasa Batak Toba terdapat lima vokal, pada bahasa Karo dan Pakpak malahan enam vokal karen kedua bahasa tersebut mengenal e-pepet [ə] yang di dalam kelompok selatan (Simalungun, Toba dan Mandailing) tidak ada.
Sementara aksara Batak hanya mengenal tiga aksara (ina ni surat) untuk vokal, yaitu ᯀ <a>, ᯤ <i>, dan ᯥ <u>.
Lalu apa yang harus kita lakukan apabila ada kata yang mulai dengan /e/, /ə/, atau /o/ atau bila ada vokal sebelum /e/, /ə/, atau /o/?
Kita dapat melakukannya dengan menulis ᯀ yang diberi anak ni surat /e/, /ə/, atau /o/. Misalnya kata eda ‘kakak ipar’, atau olo ‘iya’. Eda ditulis ᯀᯩᯑ dan olo ditulis ᯀᯬᯞᯬ.
Malah kita bisa menulis kata yang mulai dengan /e/, /i/ atau /u/ dengan cara yang sama: udan ‘hujan’ dapat ditulis ᯀᯮᯑᯉ᯲, dan uli ‘cantik, bagus’ ditulis ᯀᯮᯞᯪ! Tentu cara ini dapat diterapkan juga apabila ada vokal mengikuti /e/, /i/ atau /u/: sai dapat ditulis ᯘᯤ ataupun ᯘᯀᯪ dan bahkan ᯘᯛᯪ.
Jadi kenapa ada aksara (ina ni surat) untuk bunyi [a], [i] dan [u], tetapi tidak untuk [e] dan [o]? Sayang, tidak ada jawaban yang pasti, tetapi kata yang berawalkan [i] atau [u] jauh lebih banyak ketimbang [e] atau [o]. Dalam aksara Surat Incung (Kerinci), yang merupakan sistem tulisan surat yang terdekat, malahan tidak ada anak ni surat atau ina ni surat untuk [e] dan [o]! Padahal bahasa Kerinci memiliki enam vokal yang terpaksa harus ditulis dengan empat anak ni surat. Jadi anak ni surat untuk /i/ juga dipakai untuk menulis /e/ dan anak ni surat /u/ digunakan untuk menulis /o/!
Dalam hal itu aksara Batak lebih unggul karena untuk setiap vokal ada grafem (huruf) – entah ina ni surat atau anak ni surat.